Kereta Api
Aku kebetulan ada tugas di Jakarta,
berangkat tanggal 1 Februari 2001. Aku pergi ke sana naik kereta
eksekutif. Ah enaknya udara AC di kereta, begitu duduk aku langsung
ngantuk. Tapi tidak disangka di sampingku ternyata duduk seorang cewek
yang bukan main cantiknya.
"Selamat siang Mbak?" kataku basa-basi.
"Siang Mas," kata si cewek pendek.
Setelah
meletakkan tas di rak atas kepala, aku pun duduk di samping si cantik
itu. Biar lebih detail aku perinci penampilan si cewek ini. Wajah mirip
Tia Ivanka dan bodinya mirip Nafa Urbach, putih hidung mancung, alis
mata tebal (bukan buatan lho), bibir sensual, dagu indah, leher
jenjang. Terus ukuran dadanya, aku belum kelihatan karena dia memakai
blazer warna hitam.
Sambil menghabiskan waktu di perjalanan,
kubaca majalah favoritku, Liga Italia. Emang sih aku ini termasuk
maniak bola. Eh rupanya majalahku ini pembawa keberuntungan, karena si
cewek cantik itu ternyata tertarik dengan bacaanku ini.
"Mas, seneng bola ya?" tanya si cantik.
"Iya Mbak, kok tanyanya gitu, apa Mbak juga seneng olahraga bola," tanyaku juga.
Dan ternyata memang dia senang bola jadi kami ngobrol banyak tentang bola.
"Mas kerja apa di Jakarta?" tanya si cantik.
"Saya kerja di kantor pengacara," kataku.
Pembicaraan
kami semakin jauh dan dia menawarkan untuk janjian pergi hari Sabtu
malam Minggu di Jakarta. Nah ini dia deh, aku langsung saja tangkap
peluang untuk tahu lebih jauh tentang si cantik ini.
Malam itu ternyata kereta yang kunaiki baru sekitar jam 7:00 malam kurang tiba di Jakarta.
"Mas pulangnya naik apa, kalo nggak dijemput ikut saya aja," kata si cantik itu.
"Saya belum tau deh naik apa, ya naik taksi aja kan banyak," kataku.
"Udah ikut aja saya, nanti biar diantar supir saya," desak si cantik lagi.
Akhirnya aku dari Gambir naik mobil si cantik. Setelah sampai di ujung gang aku minta turun di situ.
"Oke ya sampai ketemu, besok saya akan telepon kamu," kataku pada si cantik.
"Malam Mas, sampai besok ya," balasnya.
Paginya
aku harus bangun pagi-pagi karena mau pergi ke kantor atasanku. Nah
setelah selesai meeting di kantor, aku langsung telepon cewek cantik
kemarin.
"Hallo, bisa bicara dengan Vivi," kataku.
"Dari siapa ini," tanya sebuah suara wanita.
"Ini dari Sony, teman Vivi dari Malang," kata aku supaya si Vivi tidak lupa.
"Hi Mas, apa kabar, dan gimana acara kami malam ini," jawab Vivi.
"Saya sih udah siap jemput kamu sekarang," kataku.
"Ya langsung aja Mas kalau gitu."
Aku langsung meluncur ke rumah Vivi. Gila benar, ternyata rumah si Vivi ini besar dan mobilnya selusin.
"Wah
kamu malam ini beda sekali ya, kelihatan lebih sederhana tapi tetep
wah..." kataku sambil jelalatan melihat badannya yang ternyata wah wah
wah.
"Ah Mas Sony bisa saja, saya kan emang begini ini," kata Vivi merendah.
"Gini-gini juga bikin pusing saya nih," kataku menggoda.
Eh ternyata si cantik itu mencubit lenganku.
"Mas Sony juga paling bisa deh, kemarin katanya karyawan biasa, kok mobilnya Mercy yang baru."
"Oh itu, itu mobil dinas kok?" kataku.
"Ah Mas ini bisa aja, masak mobil dinas Mercy baru sih..." katanya sambil mencubitku.
Malam itu kami ke restoran mewah. Selesai makan kami ke pub.
"Mas, kalo Vivi minum banyak, nggak pa-pa kan?" tanya si cantik.
"Untuk kesehatan sih jangan, tapi kalau sekali-sekali terserah kamu, masak saya melarang, nanti kamu bilang emangnya elu siapa."
"Nggak maksudnya Mas Sony nggak pa-pa ngeliat Vivi minum banyak."
"Oh
itu sih oke, saya ini nggak banyak ngatur dan 'possesive' ke cewek,
yang penting jangan reseh ya!" kataku ke Vivi sambil kupegang dan belai
kepalanya.
"Kalo gitu kita minum aja Tequila," teriak Vivi.
"Aduh ampun deh, kalo minum itu, nanti kalau saya juga teler siapa yang anter," tanyaku.
"Ya kita nggak usah pulang, kita nginep aja di hotel sebelah."
"Hah, kamu serius nih..."
"Iya
bener, kenapa sih, kok kamu belum ngerti juga kalo saya dari kemarin di
kereta udah memperhatikan kamu," kata Vivi sambil menggalayut ke
badanku.
Uh mati deh aku, disosor sama cewek cantik yang umurnya cukup jauh di bawahku.
"Ya
kalo kamu bilang gitu saya ikut aja, tapi kamu nggak nyesel dan emang
sadar kan ambil keputusan ini," kataku sekali lagi untuk meyakinkan
diriku sendiri.
"Yes darling, I've decided and never regret," kata Vivi sambil memelukku dengan sebelah tangannya.
Dan
malam itu aku minum mungkin sekitar 12 gelas kecil Tequila, dan Vivi
menenggak tidak kurang dari 6 gelas. Kami berdua sudah mulai tinggi karena kebanyakan minum.
"Vi, pulang aja ya, mumpung saya masih bisa nyetir."
"Iya deh pulang aja, biar bisa lamaan berduaan sama Mas Sony," jawab Vivi manja.
Di mobil Vivi sudah tidak bisa menahan diri lagi.
"Mas, Vivi nggak tahan nih."
"Kamu mau muntah ya," tanyaku.
"Bukan.. bukan itu, tapi itu tuh, nggak tahan itu," tangannya dengan jahil menunjuk-nujuk ke pangkal pahaku.
"Vivi
buka ya," katanya dan tanpa menunggu aba-aba, tangannya segera
menggerayangi reitsleting celanaku dan mengeluarkan batang kemaluanku
yang masih setengah tidur. Dengan perlahan tapi pasti, dilahapnya
seluruh batanganku ke dalam mulutnya yang seksi. Dimainkannya ujung
batangku dengan lidahnya. Aku merasakan batangku mengeras dan semakin
mengeras.
"Vi, aduh gimana nih sekarang, kamu tanggung jawab lho," kataku menggodanya.
"Ya
udah deh cari aja hotel," kata Vivi sambil terus mengocok batangku, dan
dengan tangan satunya dia meremas-remas payudaranya sendiri.
Hotel
pun pilihannya jatuh di Hotel ****(edited) Menteng Prapatan. Kami
berdua naik ke kamar sudah agak sempoyongan tapi ditegak-tegakkan
supaya kelihatannya sehat.
Setibanya di kamar Vivi menyempatkan menelepon ke adiknya.
"Vin, ini aku nginep di Hyatt ****(edited) kamar 900, bilangin bokap ya!"
Aku
begitu datang dari kamar mandi mengenakan handuk saja, langsung
ditubruk dan handuknya ditarik si cantik yang ganas itu. Sambil mencium
dada, perut dan sekujur tubuhku, Vivi dengan tergesa-gesa melepas
bajunya dan melemparkannya ke penjuru kamar. Begitu terlepas BH yang
menutupi dadanya yang padat itu, terlihat payudaranya yang putih padat
dengan putingnya yang terlihat kecil mencuat karena terangsang.
Disambarnya batanganku yang sudah tegang karena melihat keganasan dan
tubuh Vivi yang indah itu. Sambil menaik-turunkan mulutnya
mengikutipanjangnya batangku, tangan kanan Vivi mengusap dan
mempermainkan klitoris dan sekitar bulu kemaluannya sendiri, serta
sesekali terdengar erangan dari mulutnya yang terus menghisap batangku.
Capek
dengan kegiatannya, si cantik itu menjatuhkan badannya ke tempat tidur
sambil mengangkat kedua kakinya ke atas. Tangan kirinya membelai rambut
kemaluannya sendiri, dan tangan kanannya mempermainkan lipatan-lipatan
kulit klitoris di kemaluannya. Aku melihat Vivi seperti itu, langsung
ikut membelai bulu kemaluannya yang halus. Kujilat putingnya yang
menonjol kecil tapi keras, kujelajahi perutnya yang kencang, kumainkan
ujung lidahku di sekitar pusarnya. Dan terdengar erangan Vivi, "Egghh,
uhh..." Langsung kuhujamkan ujung lidahku ke lubang kemaluannya yang
sudah basah, dengan kedua jempolku, kudorong ke atas lipatan
klitorisnya, kupermainkan ujung lidahku di sekitar klitoris itu, "Uuhh,
egghh, ahhh..." teriak Vivi.
Karena tidak tahan lagi, langsung
saja kumasukan batang kemaluanku yang dari tadi sudah sangat keras. Dan
ternyata basahnya kemaluan Vivi tidak mengakibatkan rasa licin sama
sekali, karena lubangnya masih terasa sempit dan sulit ditembusnya.
Begitu terasa seluruh batang kemaluanku masuk di dalam jepitan lubang
kemaluan Vivi, perlahan-lahan kupompa keluar dan masuk lubangnikmat
itu. Belum terlalu lama aku memompa kemaluan Vivi, tiba-tiba, "Aaahh,
uugghhh..." teriak Vivi, rupanya dia sudah orgasme. Aku mempercepat
gerakan dan teriakan Vivi semakin menjadi-jadi, lalu kuhentikan
tiba-tiba sambil menekan dan memasukkan batang kemaluanku
sedalam-dalamnya kelubang kemaluannya.
"Oh.. Oh.. Oh.. that was so nice darling, let's make another," katanya.
Kubalikkan
badannya telungkup ke tempat tidur, dan dari belakang kupompa lagi
keluar masuk lubang kemaluannya yang ketat itu, kurebahkan badanku
menempel ke punggung Vivi dan kugerakkan pinggulku secepatnya. "Uh..
uh.. uh.. uh.. aduh Mas enak sekali.. aaahh..." teriak Vivi lagi karena
orgasme yang kedua. Tapi kali ini aku tidak stop, karena aku juga sudah
merasakan denyutan yang memuncak di sepanjang batangku. Dan dengan
kecepatan penuh kupompa keluar masuk lubang kemaluan ketat itu.
Diiringi erangan yang semakin menjadi-jadi dari Vivi, akhirnya aku juga
mencapai klimaksnya. Paginya karena hari Minggu, aku tidak terlalu
resah untuk bangun pagi. Apalagi aku sekarang sedang menginap di
****(edited) bersama Vivi. Waktu aku bangun kulihat jam di meja samping
tempat tidur, eh baru jam 8:00 pagi. Kepala masih nyut-nyutan, dan
kamar masih gelap sekali, tapi aku tetap bangun dan ke kamar mandi.
Setelah sikat gigi dan "nyetor saham", aku langsung ke tempat tidur
lagi dan masuk ke balik selimut.
"Emmm, Mas kok pagi-pagi sudah
bangun sih. Uuhhh.. tangan kamu tuh dingin, jangan nempel-nempel dong!"
kata Vivi protes. Tapi tanpa menghiraukan protes Vivi, aku tetap
menempelkan badanku ke badan Vivi yang juga telanjang bulat. Dari
belakang kupeluk badannya yang padat berisi, dengan tangan kananku,
kuraba buah dadanya yang menonjol. Aku memainkan jari-jariku di sekitar
putingnya yang terasa menonjol kecil. Kurasakan badan Vivi menggeliat
sedikit tapi kemudian diam kembali. Kulanjutkan lagi rabaanku ke daerah
perut menuju rambut-rambut halus di sekitar kemaluannya. Perlahan-lahan
kuusap-usap rambut-rambuit itu, dan di balik rambutnya kuraba dan
mainkan klitoris Vivi. "Emmm, ehhh, Mas, uhhh, Mas, ya itu di situ
enak, terus ya," kata Vivi tiba-tiba. Tanpa terasa, batangku mulai
mengeras lagi. Tidak pikir lama-lama langsung kutempelkan pinggulku ke
pantat Vivi. Terasa batang kemaluanku tepat di belahan pantat Vivi.
Tanganku tetap kumainkan di daerah kemaluannya, dan aku bisa merasakan
kemaluannya mulai basah. Segera kuarahkan ujung batangku ke lubang
kemaluan Vivi. "Aghh..." erang Vivi saat ujung batangku agak dengan
paksa menusuk ke liang kemaluannya. Kugenjot batang kemaluanku sampai
akhirnya... "Akhh..." erang Vivi rupanya dia sudah sampai.
Vivi
melepas batang kemaluanku dari lubang kemaluannya, dan memintaku untuk
tidur terlentang. Lalu dengan perlahan lagi, dia naik ke atas badanku
dan mulai memasukkan batang kemaluanku yang tadinya sudah hampir
mencapai puncaknya. Vivi menghadap ke arahku, sehingga terlihat
wajahnyayang cantik serta buah dadanya yang menonjol besar. Pinggul
Vivi meliuk-liuk menimbulkan rasa enak dan ngilu di sepanjang dan ujung
batang kemaluanku yang terjepit erat di antara kemaluan Vivi. Kuraih
buah dada Vivi dan kuremas-remas. "Ohh, yes, yes, yah terus Mas, oouhh
enaknya, ya..." teriak Vivi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
secara membabi buta. Rambutnya yang agak panjang terlihat menyabet ke
kiri dan ke kanan. dan tak lama kemudian kami pun mencapai puncak
secara bersamaan. Begitulah kisahku bersama Vivi, dan sejak saat itu
aku sering melakukan percintaan yang melelahkan sekaligus menyenangkan
bersama Vivi.
TAMAT