Saya bekerja di kantor pusat salah satu
bank swasta nasional terkenal. Saya bertugas di bagian system analyst.
Pekerjaan saya cukup menyenangkan dan menantang bagi saya, dan saya
rela bekerja sampai larut malam. Sejak saya masuk ke bagian ini, jam
tidur saya jadi praktis berkurang. Sebenarnya saya sungguh beruntung.
Penghasilan saya lumayan besar dan karir saya sungguh bagus. Banyak
yang mengatakan saya 'is on the right track'. Istri yang saya nikahi
setengah tahun yang lalu saya sangat mencintai saya, demikian pula saya
mencintainya sepenuh hati saya. Rasanya saya tidak akan pernah bisa
mencintai wanita lain seperti istri saya sekarang.
Karir saya
dan istri saya menyebabkan kami belum bisa bergabung dalam satu atap.
Saya dan istri saya tinggal di dua kota yang terpisah cukup jauh. Kami
saling kunjung-mengunjungi secara bergantian setiap 2 minggu sekali.
Sungguh pun keadaannya demikian, kami merasa bahagia. Kehidupan seks
kami berdua sangat baik. Saya merasa bersyukur istri saya bukanlah
wanita yang anti seks. Ia sangat aktif dalam seks, bahkan cenderung
memiliki nafsu seks yang sangat besar, demikian pula dengan saya. Sex
bagi kami adalah suatu yang indah, nikmat dan sakral.
Istri saya
sangat pandai memuaskan keinginan seks saya. Seperti juga saya, ia
sangat antusias dengan eksperimen-eksperimen dalam hubungan seksual
sepanjang masih dalam norma kesopanan dan kewajaran. Dalam berhubungan
seks saya dan istri saya selalu mendapatkan orgasme, dan kami selalu
berusaha agar kami berdua sama-sama menikmati puncak dari hubungan seks
ini yang tidak dapat kami lakukan setiap hari.
Biasanya, istri
saya lebih banyak mendapatkan orgasme dari saya, karena selain ia lebih
aktif, prinsip yang kami anut adalah 'lady first'. Dari
eksperimen-eksperimen yang kami lakukan berdua, saya jadi mendapatkan
banyak pengetahuan dan pengalaman bagaimana membuat seorang wanita
mencapai orgasme saat berhubungan seksual, mulai dari persiapan,
pemanasan, pemilihan posisi, dan pengaturan waktu agar si wanita dapat
lebih dulu atau setidaknya bersamaan dengan saya mendapatkan orgasme.
Pendek kata, tidak ada yang salah dalam kehidupan seksual saya dan
istri saya. Dua minggu sekali kami bertemu 2 hari penuh, dan sepanjang
hari kami melakukan aktivitas seksual tanpa jemu 5-15 kali. Bukankah
itu sama saja dengan melakukannya setiap hari sekali?Saya tidak pernah
tertarik mendalam secara seksual terhadap wanita lain, dan tidak pernah
berusaha untuk itu. Saya sudah merasa lebih dari cukup dengan istri
saya saja. Sampai suatu hari ada kejadian yang akhirnya mengubah
semuanya.
Saya mendapatkan pimpinan baru di divisi saya. Ia
seorang wanita yang setelah beberapa hari saya bergaul dengannya,
bekerja sama dalam berbagai project, saya menjadi kagum terhadap
kepandaian, ambisi, dan kerja kerasnya. Secara fisik ia adalah seorang
wanita yang menarik, dengan kulit putih mulus, wajahnya bisa dikatakan
sensual karena bentuk bibirnya sangat indah dan selalu tersenyum,
tubuhnya tidak tinggi tapi proporsional dan seksi. Tetapi saya tidak
pernah berpikir ke arah seksual karena selain saya hormati ia sebagai
atasan saya, ia juga sudah memiliki suami. Ia memiliki kegemaran
bekerja di kantor sampai larut malam, sama dengan kebiasaan saya.
Jadilah sekarang setiap malam saya selalu berdua dengannya di kantor
bekerja hingga larut malam. Suaminya dengan setia menjemputnya setiap
pukul 22.00. Saya pun biasanya pulang sekitar jam yang sama.
Saya
tidak pernah membayangkan hubungan saya dan bos saya itu berkembang
lebih jauh dari sekedar hubungan bawahan dan atasan. Saya paling benci
selingkuh antar teman sekantor. Saya merasa itu tidak mungkin terjadi
pada diri saya. Saya yakin tidak mungkin.
Malam itu, saya dan
dia seperti biasa bekerja hingga larut malam karena ada system baru
yang akan diimplementasikan. Malam itu agak panas dan saya merasa penat
sekali. Saya ingin mandi air hangat di kamar mandi kantor, seperti
sering saya lakukan sehari-hari. Saya mengambil kunci kamar mandi dan
pamit kepada Inne, nama atasan saya itu. Saya katakan saya ingin mandi
dahulu. Ia cuma memandang sambil tersenyum penuh arti. Saya tidak tahu
apa sebabnya.
Mandi air hangat begitu mengasyikan. Rasanya
pori-pori di kulit jadi terbuka, kotoran dan rasa penat hilang. Saya
suka berlama-lama diguyur air panas dari shower. Tiba-tiba saya dengar
ketukan di pintu, saya tunggu sebentar sebelum menjawab, terdengar
suara dari luar. Suara Inne. Ia mengatakan ingin meminjam kunci kamar
mandi untuk masuk ke kamar mandi wanita di sebelah kamar mandi yang
saya gunakan. Saya gugup karena saya masih telanjang bulat. Akhirnya
saya buka pintu sedikit dan saya tetap bersembunyi di balik pintu
sementara tangan saya mengulurkan kunci kamar mandi kepada Inne. Di
luar dugaan saya, saya merasa tangan Inne menggenggam erat tangan saya
dan tiba-tiba pintu kamar mandi saya terdorong ke dalam. Sebelum saya
sadar, ternyata Inne sudah di dalam kamar mandi dan telah menutup serta
mengunci pintu kamar mandi.
Saya salah tingkah, saya tidak
mengenakan penutup badan apa-apa. Dengan panik saya membalikkan badan
saya. Tapi itu tidak ada gunanya, di depan saya terpasang cermin besar
dan Inne bebas mengamati ketelanjangan saya. Semenjak saya beranjak
dewasa, belum ada wanita lain selain istri saya yang melihat tubuh saya
dalam keadaan telanjang bulat.
Masih dalam kegugupan saya, Inne
mendekat dan langsung merangkul saya dari belakang. Tangannya tiba-tiba
meremas kemaluan saya. Saya tersentak, dan berusaha menolak. Saya ingat
istri saya. Tapi tiba-tiba badan saya dibalik dan sepasang bibir yang
ranum milik Inne mendarat di bibir saya. Inne menciumi saya dengan
penuh nafsu, sementara tangannya tidak henti meremas dan mengelus
batang kemaluan saya yang otomatis menegang dan makin keras. Saya masih
berusaha mengatakan, "Jangan Inne, ini salah." Tapi Inne seperti
seorang pemangsa yang tidak ingin melepas buruannya.
Saya merasa
jadi korbannya. Ya, saya di bawah kekuasaannya. Saya adalah bawahan dia
adalah atasan. Tapi lama-kelamaan perasaan ini, juga perasaan bersalah
kepada istri saya, makin lama makin hilang, tertutup oleh nafsu saya
yang dibangkitkan oleh tindakan Inne. Saya lupa segalanya.
Naluri
seksual saya sebagai lelaki akhirnya bicara. Saya balas ciumannya
dengan nafsu juga, tangan saya mulai meraba-raba bagian sensitif dari
tubuh Inne mulai dari dadanya yang tidak terlalu besar tapi bagus
bentuknya, pantat, paha, sampai akhirnya ke kemaluannya. Pelan-pelan
saya membuka pakaiannya, mulai dari blazernya, terus blusnya, lalu rok
panjang ketatnya. Inne secara cooperative membantu saya melucuti
pakaian yang menempel di badannya. Kini ia tinggal memakai pakaian
dalam saja (BH dan celana dalam).
Bodinya memang menggiurkan.
Saya tidak mengatakan bodinya lebih bagus dari istri saya, tapi dalam
keadaan seperti ini, saya menjadi semakin bernafsu karena keindahan
tubuh yang terpampang di hadapan saya.
Dalam waktu yang tidak
terlalu lama, BH-nya pun saya lepas. Dua buah payudara yang berukuran
sedang tapi indah bentuknya karena terawat muncul. Saya tidak tahan dan
segera saya mulai menjilati, mencium, dan memainkan payudara dan
putingnya yang mulai mengeras. Inne mengerang pelan setiap saya isap
puting payudaranya. Saat mengerang, tangannya meremas kemaluan saya
lebih kuat. Matanya terpejam dan dagunya terangkat menandakan Inne
benar-benar menikmati permainan ini. Sementara saya memainkan puting
payudara, tangan saya juga berkelana meraba celana dalamnya. Basah dan
lembab. Ah, Inne rupanya nafsu sekali. Jari saya, saya masukkan ke
celana dalamnya sampai saya menemukan belahan kemaluannya. Clitorisnya
saya gosok secara pelahan. Hasilnya nyata, Inne makin liar mengerang
dan badannya mulai mengejang.
Tiba-tiba semua kegiatan saya
terhenti karena Inne menarik kepala saya dari dadanya dan menarik
keluar tangan saya dari celana dalamnya.
"Ada apa, Inne?" tanya saya. Inne cuma tersenyum penuh arti.
Tiba-tiba
ia berlutut di hadapan saya dan meraih batang kemaluan saya. Secepat
kilat ia langsung menciumi batang saya yang sudah benar-benar mengeras
tanda siap tempur. Batang kemaluan saya dijilati dari ujung sampai ke
pangkal penis. Ughh, saya mengerang-erang karena sensasi kenikmatan.
Belum cukup ia menjilati kemaluan saya, penis saya dikulum dan
diisap-isah. Sensasi kenikmatan akibat sedotan mulutnya menjalar ke
seluruh tubuh saya. Inne menggerakkan kepalanya maju mundur jadi saya
merasakan penis saya seperti saat sedang coitus. Saya merasa saatnya
hampir tiba. Jika saya teruskan maka saya akan orgasme.
Saya
berhasil menarik penis saya tepat pada waktunya, sehingga saya sempat
menarik nafas panjang untuk meredakan ketegangan dan menetralisir
keadaan penis saya yang hampir kolaps. Inne tampaknya mengerti dan
setuju bahwa permainan belum usai. Secepat ia berdiri, secepat itu pula
saya berlutut dan langsung menarik turun celana dalam satin berwarna
pink yang sudah begitu basahnya oleh cairan vaginanya. Di hadapan saya
tampak kemaluan Inne ditutupi dengan bulu-bulu halus yang tampaknya
terawat dengan baik. Langsung saya cium daerah pubisnya, reflek Inne
membuka kedua kakinya dan dengan bersandar di dinding kamar mandi ia
berdiri mengangkangi kepala saya.
Saya tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini, langsung saya jilati kemaluannya, clitorisnya saya
jilat dan saya isap pelan-pelan. Basah dan tambah basah kemaluannya
akibat perpaduan antara cairan kewanitaannya dengan ludah saya.
Vaginanya beraroma khas sekali, dan saya sangat menyukai aroma ini
karena membuat saya makin nafsu. Sementara Inne semakin liar dan
setengah berteriak kenikmatan sambil tangannya menjambak kuat rambut
saya.
Kira-kira tiga menit kemudian, badan Inne tiba-tiba
mengejang kuat, dan Inne berteriak setengah tertahan. Otot-otot di
vaginanya saya rasakan berkontraksi secara ritmis, dan jambakan di
rambut saya makin kuat. Inne orgasme selama 20 detik. Peluh di sekujur
badannya, dan ia bersandar lemas di dinding. Saya berdiri dan menatap
wajahnya. Matanya setengah terbuka dan bibir tersenyum. Saya cium
bibirnya dengan lembut.
Inne langsung mendekap saya dan berbisik, "Kamu hebat. Terima kasih. Ini nikmat sekali."
Pelukannya makin erat, dadanya menekan dada saya. Ah, betapa lembut dada indahnya Inne. Inne berbisik", Kamu belum, Er."
"Enggak apa-apa. Kamu kelihatannya capek. Saya senang kalau kamu menikmatinya", balas saya.
"Enggak. Kamu juga harus dapet!" kata Inne, sambil tiba-tiba mencium bibir saya dengan nafsu. Badannya tidak lemas lagi.
Entah mengapa saya ingat istri saya. Saya terdiam. Pasif. Inne mengetahuinya bertanya, "Kenapa? Kamu ingat istri kamu?".
Saya mengangguk lemah. Inne membalas, "Kalau gitu kita tidak usah coitus, kita lakukan petting saja".
"Apa bedanya", sergah saya.
Inne
tidak mau kalah dan menerangkan bahwa paling tidak kita 100%
mengkhianatinya karena kita tidak melakukan coitus. Sebelum sempat saya
berbantah lagi, ia menarik tubuh saya, sambil meraih penis saya dan
mengarahkan ke kemaluannya, kemudian menjepit penis saya di kemaluannya
dengan dua pahanya. Inne menggerak-gerakkan pinggulnya dan saya
merasakan bibir kemaluannya yang tebal dan basah menggosok-gosok penis
saya. Saya nafsu sekali dan akhirnya saya ikut menggerakkan pinggul
saya seirama dengan gerakan pinggul Inne. Sekitar 3 menit kami lakukan
petting dalam keadaan berdiri, sampai saya berinisiatif mengangkat
badan Inne dan mendudukkan di meja toilet, kemudian kembali melakukan
petting dengan posisi kaki inne di atas pundak saya. Untuk
mempertahankan sentuhan penis saya pada clitoris dan bibir kemaluannya,
Inne menggunakan jarinya menekan penis saya. Uh, kami berdua berpacu
dalam perjalanan menuju puncak kenikmatan. Saling mengerang. Nikmat
sekali.
Tanpa saya sadari, tangan Inne memegang penis saya dan
mengarahkan ke lubang vaginanya dan ughh..., penis saya masuk ke dalam
lubang yang licin itu. Vaginanya masih kencang sekali, sehingga saya
merasa seperti diremas-remas saat saya meneruskan gerak maju mundur
pinggul saya. Saya dan Inne sudah lupa janji saya tadi. Kami asyik
berpacu sampai akhirnya tubuh Inne kembali mengejan kuat dan dari mulut
Inne keluar jerit tertahan, "aahh". Inne orgasme lagi dan itu
berlangsung selama setengah menit, selama itu pula vaginanya
berkontraksi seperti memijat penis saya. Saya merasa inilah saatnya
saya orgasme. Saya percepat gerak saya dan tepat sebelum sperma saya
tumpah, penis saya tarik keluar vagina dan sperma saya semprotan ke
atas perut Inne. "Ugh..., ugh..., uugh", Banyak sekali sperma saya yang
keluar.
Tubuh saya langsung lemas, begitu pula Inne. Kita saling
berpelukan, sampai akhirnya saya berinisiatif mengajaknya membersihkan
badan kita dengan air hangat berdua, dan kami mandi berdua di bawah
siraman air hangat.
Ketika kami berpakaian, Inne bertanya, "Kamu
menyesal?" Saya jawab tidak. Tidak ada yang patut disesali. Semua telah
terjadi. Saya dan Inne sama-sama mendapatkan apa yang kita cari. Saya
hanya ingin ini tidak terjadi lagi. Saya merasa berdosa pada istri
saya. Tetapi secara jujur saya akui pengalaman yang saya lalui tadi
dengan Inne merupakan suatu hal yang membuat saya terhanyut. Saya
menyukai gaya Inne yang aktif, seperti istri saya juga.
Saya dan
Inne kembali ke tempat kerja kami, dan berbuat seolah tidak terjadi
apa-apa. Inne menunggu sampai suaminya menjemput. Kami pulang bertiga
bersama-sama. Syukurlah suaminya tidak curiga.
Sejak peristiwa
saya dan Inne di kamar mandi kantor malam itu, hidup saya menjadi tidak
tenang rasanya. Tindakan saya mengkhianati istri benar-benar menjadi
beban dalam pikiran. Saya tidak tahu apakah saya masih punya muka untuk
bertemu dengan istri saya nanti. Saya yakin saya bisa menutupi hal ini
ke istri saya, tetapi hati nurani saya tidak bisa kompromi. Haruskah
saya menyalahkan Inne, sementara saya juga punya andil dalam kejadian
itu. Sayalah suami yang tega mengkhianati cinta istrinya.
Hal
yang paling membuat saya makin merasa bersalah adalah di balik semua
penyesalan saya, saya ternyata menikmati dan menginginkan peristiwa itu
terulang. Saya memang berjanji untuk tidak melakukannya lagi, tapi
alangkah sulitnya berurusan dengan nafsu. Makin saya berusaha
melupakan, makin timbul keinginan saya untuk mereguk kenikmatan yang
terlarang bersama Inne. Benar kata orang, janganlah berbuat dosa karena
sekali kita berbuat dosa akan sangat sulit bagi kita untuk keluar
darinya. Hal itu terjadi pada diri saya.
Di kantor saya berusaha seprofesional
mungkin, saya tidak mau kejadian malam itu tercium oleh rekan-rekan
kerja saya. Saya serba salah juga. Inne adalah atasan saya, tapi begitu
memandangnya langsung saja saya teringat tubuh telanjangnya yang pernah
saya nikmati. Inne sering secara sembunyi-sembunyi menatap saya dengan
pandangan nafsunya. Sering juga ia mengelus tangan saya. Sepertinya ia
menunggu kesempatan untuk memangsa saya. Jujur saja, saya juga berdebar
menanti kesempatan ini. Oh, betapa bejatnya diri saya.
Seperti
biasa malam itu Inne dan saya bekerja hingga larut malam. Saya asyik di
depan komputer di ruang saya. Ruang saya hanyalah sebuah partisi
setinggi 1.5 meter, sementara ruang Inne berupa sekat permanen tanpa
pintu. Di ruangan divisi saya hanya ada satu ruang kerja yang tertutup
dengan pintu milik kepala divisi saya (atasan langsung Inne), lainnya
hanyalah partisi biasa dan sekat permanen tanpa pintu.
Inne
datang menghampiri saya. Ia membawa sesuatu di tangannya, ternyata
sebuah VCD. Saya tebak pasti sejenis film biru. Tebakan saya tidak
salah. Inne mengambil tempat duduk dan duduk di sebelah saya, dekat
sekali.
"Er, setel ini dong. Kata temen filemnya oke. Ada ceritanya nggak asal main saja. Saya ingin nonton nih", pinta Inne.
"Kenapa kamu nggak nonton di rumah saja sama suamimu?"
"Ih,
boro-boro, suami saya benci sekali film seperti ini. Ia bilang tidak
realistis, tipuan, dibuat-buat dan sebangsanya. Pokoknya dia selalu
nolak kalo saya ingin nonton ini bersamanya. Jadi sama kamu saja yah.
Khan komputer kamu multimedia", Inne berkata sambil meletakkan
tangannya pada selangkangan saya dan sedikit meremasnya. Seperti kerbau
dicocok hidungnya, saya melaksanakan keinginannya. VCD itu saya setel,
kami berdua menonton.
Film yang kami setel memang bagus. Sangat
membangkitkan nafsu. Ditambah lagi atmosfer yang ada di antara kami
berdua sudah berselaputkan nafsu. Kami berdua mulai saling merangsang.
Tangan Inne membuka ritsliting celana panjang saya, kemudian dengan
terampil mencari-cari barang berharga milik saya yang ada di balik
celana dalam saya. Setelah ketemu, jemari yang halus itu mulai
digosok-gosokkan ke penis saya yang sudah mulai mengeras. Uh, saya
merasa nikmat sekali.
Saya pun tidak mau kalah. Tangan saya
telah masuk ke sela-sela blusnya dan BH-nya mulai saya jelajahi
mencari-cari puting payudaranya. Inne menggeliat-geliat ketika
putingnya saya permainkan. Film yang kami tonton makin membuat kami
makin hanyut dalam nafsu. Tangan saya mulai beralih menyibak rok mini
Inne sambil mengelus-elus pahanya yang putih mulus mulai mencari-cari
jalan masuk ke balik celana dalam Inne yang sudah begitu basah oleh
cairan vagina Inne. Saya jadi teringat bau khas vagina Inne yang
memabukkan saya.
Bibir kami pun bertautan dan saling mencium
dengan penuh nafsu. Ciuman bibir memang sangat efektif untuk
membangkitkan nafsu dan sangat pribadi sifatnya ketimbang hubungan seks
itu sendiri. Seorang pekerja seksual tidak keberatan untuk melakukan
hubungan seks dengan setiap orang yang membayarnya, tapi jangan
coba-coba minta ciuman bibir. Belum tentu ia bersedia. Ciuman bibir
hanya bisa terjadi jika kedua pihak telah saling percayai. Makin
meninggi nafsu yang muncul pada diri kami masing-masing akibat ciuman
bibir itu. Lidah saya dan lidahnya saling bertautan, sementara kedua
bibir kami makin erat.
Saya kemudian melepaskan bibir saya dari
bibir Inne, lalu berlutut. Kepala saya masuk di sela-sela paha yang
telah terbuka karena rok mininya telah saya singkap. Saya cium-cium
selangkangannya. Hmm..., bau vagina ini benar-benar saya suka. Rasanya
sampai naik ke ubun-ubun. Dengan hidung saya mainkan kemaluannya yang
masih ditutupi celana dalam. Uh.., uh.., uh.., suara Inne melenguh
seirama dengan gerakan hidung saya. Inne benar-benar menikmati yang
saya perbuat.
Dengan kedua tangan saya, celana dalam Inne saya
pelorotkan sampai pergelangan kaki. Inne membuka pahanya lebar-lebar
dan saya melihat dengan jelas kemaluannya yang masih sangat terawat
itu. Dengan lembut saya melakukan oral seks dan dibantu jari-jari saya.
Clitorisnya yang tegak menantang saya jilat dan isap-isap, sementara
jari saya bermain di sekitar lubang vaginanya. Vaginanya makin basah
dan bau vagina itu juga makin keras sehingga saya makin bersemangat
melakukan oral seks.
Kedua tangan Inne mencengkeram kuat kedua
sandaran tangan di kursi tempat ia duduk. Badannya
menggelinjang-gelinjang diselingi sesekali badannya mengejang menahan
sensasi luar biasa nikmatnya. Benar seks itu nikmat, dan saya pun
semakin bersemangat untuk merangsang alat kelamin Inne dengan bibir,
lidah dan tangan saya. Lidah saya dengan nakal bermain-main di sekitar
clitoris yang makin menegang. Tubuh Inne bergerak liar sampai akhirnya
dengan pantat terangkat dari kursi, tubuhnya mengejang kuat disertai
dengan teriakan tertahan. Cengkraman tangannya makin kuat. Inne
mendapatkan orgasme, puncak dari kenikmatan seksual. Saya pun tidak mau
kehilangan kesempatan langka ini dengan tetap melepaskan mulut dan
lidah saya dari kemaluannya saat Inne orgasme.
Istri saya juga
tidak pernah keberatan dengan oral seks, tapi sangat jarang baginya
mendapatkan orgasme saat kami melakukan oral seks. Istri saya jauh
lebih mudah orgasme dengan petting dan coitus. Saya juga jarang
berhasil membuatnya orgasme dengan rangsangan tangan. Itulah sebabnya
bagi saya membuat wanita orgasme dengan oral seks adalah suatu hal yang
luar biasa. Saya merasa saya pria paling jantan di dunia ini.
Sekitar
10 detik tubuhnya kaku menikmati saat-saat paling indah ini, sampai
akhirnya Inne terduduk lemas. Saat itu saya berikan ciuman lembut di
bibir Inne. Mata Inne terpejam. Inne membalas ciuman saya dengan lembut
pula, kemudian ia berbisik di telinga saya, "Er, makasih. Kamu
memberikan saya hal yang luar biasa."
Inne sepertinya kelelahan
sekali. Hal yang aneh, saya mulai berpikir untung rugi. Saya belum
mendapatkan apa-apa. Saya balas berbisik, "Saya belum dapet, nih. Kamu
capek yah".
"He-eh", jawab Inne.
Tapi saya tidak peduli. Inne
saya seret ke ruang kepala divisi yang memiliki pintu tertutup. Dengan
lemas Inne menurut. Pintu ruang kepala divisi saya tutup dan saya
kunci. Tubuh lemas Inne saya baringkan di atas meja, sementara celana
dalam Inne yang masih ada di pergelangan kakinya saya lepas. Saya
memerosotkan celana panjang saya dan celana dalam saya turunkan sepaha
sampai penis saya yang sudah mengacung kuat bebas. Penis saya saya
geser-geserkan di bibir kemaluan Inne yang masih basah. Spontan Inne
menggelinjang kegelian. Tangan Inne meraih penis saya dan membimbing
masuk ke lubang vaginanya. Saya memulai kayuhan cinta ini. Penis saya
keluar masuk vaginanya yang licin tapi erat. Pemandangan yang sangat
exciting. Penis saya seperti dipijat-pijat.
Jari Inne ikut
memainkan clitorisnya sendiri. Inne sangat menikmati setiap gerakan
penis saya keluar masuk ke dalam vaginanya. Kembali Inne mengelinjang.
Ia bilang, "Er, nanti saya dapet lagi..."
Saya bilang, "Enggak pa-pa, saya juga sebentar lagi".
Saya
baru merasa benar-benar puas jika dalam berhubungan seks, lawan saya
mendapatkan kepuasan lebih banyak dari saya. Bukan berarti saya adalah
tipe pelayan seks. Bukan. Ini semata-mata hanya untuk memuaskan ego
saya sebagai laki-laki. Bagi saya, hanya laki-laki jantanlah yang mampu
membuat wanita menikmati hubungan seks. Makin sering ia membuat wanita
orgasme makin jantanlah ia.
Gerakan penis saya menusuk vagina
Inne makin saya percepat, seiring dengan rintihan dan lenguhan Inne
yang makin cepat seirama dengan gerakan saya. Saya merasa saat saya
sudah dekat, tetapi melihat Inne belum juga terlihat mendekati puncak,
saya berusaha meredam ketegangan yang merambati penis saya. Saya
konsentrasi dan menarik nafas panjang agar orgasme saya dapat tertunda.
Tiba-tiba tangan Inne menarik pinggul saya rapat ke arah tubuhnya
sehingga saya tidak dapat melanjutkan gerak saya.
"Ada apa Inne",, tanya saya heran.
"Saya ingin ganti posisi", kata Inne. Saya menjawab dengan anggukan kepala.
Seiring
dengan bangunnya Inne dari meja tempat ia berbaring, saya melepaskan
batang kemaluan saya dari vaginanya. Ugh, saya dapat kesempatan untuk
menenangkan ketegangan penis saya yang sudah siap menumpahkan sperma.
Inne membalikkan badannya membelakangi saya dan dengan kaki tetap
berpijak di lantai ia menelungkupkan badannya di meja. Rupanya Inne
ingin posisi dog style. Saya menyambut posisi itu dengan langsung
mengarahkan penis saya ke bibir kemaluannya dan pelan-pelan menemukan
lubang vaginanya. Kembali saya menggenjot tubuh Inne dari belakang.
Mula-mula pelahan. Makin lama makin cepat. Inne melenguh dan merintih
dengan nikmatnya. Ih, ah, uh terlontar dari bibir Inne. Sesekali saya
membungkukkan badan saya, rambut Inne saya jambak ke belakang dan bibir
ranum Inne saya lumat dengan nafsu. Innepun membalas dengan nafsu yang
tak kalah besar.
Inne tiba-tiba menjerit. Walaupun ia berusaha
menahan, namun jeritan itu tetap saja keluar. Inne kelihatan berusaha
sekuat tenaga menahan diri agar tidak bersuara, namun rasa yang
menguasai tubuhnya tak tertahankan. Kembali Inne mendapatkan orgasme,
saya tandai dari tubuhnya yang kejang-kejang secara ritmis. Itu
berlangsung kurang lebih lima detik. Saya masih tetap meneruskan
kayuhan penis saya maju mundur. Vaginanya yang makin basah akibat
orgasme membuat suara pada saat penis saya bergesekan dengan dinding
vagina.
Tidak berapa lama kemudian, Inne menjerit dan mengejang
lagi. Tubuhnya bergerak-gerak secara ritmis selama 10 detik. Inne
mengalami orgasme beruntun, dan yang kedua kelihatannya lebih kuat
dibandingkan yang pertama. Suara-suara yang keluar dari bibirnya yang
sensual benar-benar membuat saya ingin cepat-cepat merasakan orgasme
juga.
Saya makin percepat gerakan ayun saya. Makin cepat makin
kuat sampai saya merasa saatnya akan datang bagi saya. Saya hampir
sampai di puncak kenikmatan. Saat saya sedang menimbang apakah sperma
saya akan saya keluarkan di dalam vaginanya atau di luar, kami
mendengar pintu masuk ruang divisi terbuka dan kedengaran ada langkah
seseorang. Sialan saya baru saja mau dapat orgasme, nggak jadi deh.
Kami berdua dengan secepat kilat tanpa suara kami segera membenahi
pakaian kami masing-masing. Untung baju-baju kami terbuat dari bahan
anti wrinkle jadi tidak ada bekas kusut. Inne segera merapikan
rambutnya. Sementara otak saya berputar mencari cara bagaimana agar
kami tidak tertangkap basah oleh siapapun orang itu yang memasuki ruang
divisi kami.
Terdengar gumamam, "U-uh, si Inne mana yah." Suara
suami Inne, Harry. Saya berunding secara berbisik-bisik dengan Inne
bagaimana kami bisa keluar dari ruangan tempat saya dan Inne berada
secara bergantian tanpa kecurigaan suami Inne. Saya memutuskan keluar
terlebih dahulu sambil memikirkan cara Inne keluar dari situ dengan
aman. Bagian selanjutnya akan sangat tergantung dari improvisasi saya
dan Inne.
Setelah Inne berada di balik pintu, dan kami saling
menilai pakaian dan keadaan kami sudah tidak mengundang kecurigaan,
saya dengan hati-hati memutar anak kunci tanpa suara dan langsung
membuka pintu ruangan kepala divisi, keluar dari ruangan itu dengan
langkah yang saya usahakan sewajar-wajarnya. Pintu ruang otomatis
menutup sendiri.
Pura-pura saya terkejut dan berkata, "Eh, Mas
Harry. Cari Inne yah. Wah, Inne tadi katanya ke lantai 4 mengambil
print out data."
"Oh, ya?" kata Harry datar.
"Mau dicari, Mas?
Mari saya temani. Saya sebenarnya juga ingin mengambil hasil download
data", saya berharap Harry mau ikut saya dan Inne bisa keluar dengan
selamat tanpa ketahuan. Tapi...
"Enggak usah, deh. Saya tunggu saja
di sini, nanti Inne khan ke sini, janjiannya khan saya jemput di sini.
Kalo nanti saya ke bawah malah bisa jadi seperti main petak umpet",
jawaban Harry memupuskan harapan saya. Saya harus cari jalan lain.
Sejalan saya telah mengatakan akan ke lantai 4, saya berarti harus
meninggalkan ruang ini.
Saya meninggalkan ruang itu sambil
berpikir keras dan mencari jalan keluar dari 'big problem' secara
mulus. Was-was juga saya. Jangan sampai Harry iseng membuka pintu ruang
kepala divisi. Aduh jangan deh. Di lantai 4, dengan tanpa harapan saya
memandang ke luar ke pelataran parkir. Saya melihat mobil Inne parkir
di tempat yang agak gelap. Timbul ide nakal saya. Saya telepon satpam
lantai 6 tempat ruangan saya dan saya katakan saya satpam lantai dasar,
minta tolong dia untuk mencari pemilik mobil mazda familia merah, mobil
Harry, yang ada di ruang system analyst untuk memindahkan mobilnya ke
tempat yang lebih aman dekat lobi. Untungnya satpam yang saya telepon
percaya. Saya menunggu sampai akhirnya melihat Harry berjalan ke
mobilnya. Langsung saya bergegas ke lantai 6.
Sampai di sana
saya langsung membuka ruang kepala divisi, Inne terkejut dan pucat,
tapi begitu sadar yang membuka pintu adalah saya dan saya memberikan
isyarat aman, ia langsung bertanya, "Gimana, Er?"
"Udah. Entar kalo
Harry datang lagi ke sini. Kompak saja kita bilang tadi ketemu di
lantai 4, dan kamu baru saja ambil report di mainframe", jawab saya.
Kami
berdua langsung mengatur posisi duduk di ruang kerja masing-masing,
disaat genting itu Inne masih sempat mencium bibir saya. Sialan nih
orang. Enggak tahu keadaan gawat. Harry datang lagi. Kelihatannya ia
tidak curiga karena Inne langsung menyambut dengan mesra. Syukurlah.
Mereka berbenah, dan pamit kepada saya.
"Er, saya duluan, yah. Eh,
pekerjaan kamu yang tadi belum selesai, yah, nanti deh saya bantu
menyelesaikannya", Inne berkata begitu kepada saya sambil menatap penuh
arti, tapi mimiknya membuat saya mengerti arti kata-katanya.
"No
problem. Masih panjang kok waktunya. Thanks", jawab saya sekenanya
sambil tersenyum. Duh, Inne memang menyukai menyerempet bahaya rupanya.
Ketika
saya tinggal sendirian di ruangan. Saya kembali ingat istri saya.
Lagi-lagi saya tak mampu menahan hasrat ini. Inne menggairahkan sekali.
Saya teringat pesan salah satu direksi saat saya mau menikah dan
memutuskan untuk tinggal terpisah dengan istri saya. Katanya yang
namanya suami istri itu haruslah jadi satu. Bahaya jika terpisah jauh.
Suami istri adalah satu kesatuan. Jika salah satu lebih dekat dengan
pihak ketiga, di situ pasti muncul masalah. Saya kini telah membuktikan
kebenaran kata-katanya.
VCD yang saya putar di Komputer di telah
habis. Saya merenung, inikah yang kehidupan yang saya pilih. Saya
benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari Inne. Secara seksual kami
saling membutuhkan. Tidak lebih dari itu. Saya yakin di antara kami
berdua tidak ada perasaan ingin memiliki. Kami memiliki keluarga
sendiri-sendiri, dan kami tidak ingin merusak segala yang ada. Terlalu
mahal untuk dipertaruhkan.
Saya putar CD di komputer saya, lagu
milik Tom Grant mengalun dengan lembut dan manis. Sementara pikiran
saya makin tidak tenang, "Bagaimana saya bisa menatap wajah istri saya
di akhir minggu ini?"
TAMAT