Aku Dan Anak Majikan
Lima bulan sudah aku bekerja sebagai
seorang pembantu rumahtangga di keluarga Pak Rahadi. Aku memang bukan
seorang yang makan ilmu bertumpuk, hanya lulusan SD. Tetapi karena
niatku untuk bekerja memang sudah tidak bisa ditahan lagi, akhirnya aku
pergi ke kota Surabaya, dan beruntung bisa memperoleh majikan yang baik
dan bisa memperhatikan kesejahteraanku. Sering terkadang aku mendengar
kisah tentang nasib beberapa orang pembantu rumah tangga di kompleks
perumahan. Ada yang pernah ditampar majikannya, atau malah bekerja
seperti seekor sapi perahan saja.
Ibu Rahadi pernah bilang bahwa
beliau menerimaku menjadi pembantu rumahtangganya lantaran usiaku yang
relatif masih muda. Beliau tak tega melihatku luntang-lantung di kota
metropolis ini. "Jangan-jangan kamu nanti malah dijadikan wanita
panggilan oleh para calo WTS yang tak bertanggungjawab." Itulah yang
diucapkan beliau kepadaku.
Usiaku memang masih 18 tahun dan
terkadang aku sadar bahwa aku memang cantik, berbeda dengan para gadis
desa asalku. Pantas saja jika Ibu Rahadi berkata begitu terhadapku.
Namun
akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, yakni tentang
perlakuan Mas Rizal terhadapku. Mas Rizal adalah anak bungsu keluarga
Bapak Rahadi. Dia masih kuliah di semester 6, sedangkan kedua kakaknya
telah berkeluarga. Mas Rizal baik dan sopan terhadapku, hingga aku jadi
rikuh bila berada di dekatnya. Sepertinya ada sesuatu yang bergetar di
tubuhku. Jika aku ke pasar, Mas Rizal tak segan untuk mengantarkanku.
Bahkan ketika naik mobil aku tidak diperbolehkan duduk di jok belakang,
harus di sampingnya. Ahh... Aku selalu jadi merasa tak nikmat. Pernah
suatu malam sekitar pukul 20.00, Mas Rizal hendak membikin mie instan
di dapur, aku bergegas mengambil alih dengan alasan bahwa yang
dilakukannya pada dasarnya adalah tugas dan kewajibanku untuk bisa
melayani majikanku. Tetapi yang terjadi Mas Rizal justru berkata
kepadaku, "Nggak usah, Santi. Biar aku saja, anggak apa-apa kok..."
"Nggak... nggak apa-apa kok, Mas", jawabku tersipu sembari menyalakan kompor gas.
Tiba-tiba
Mas Rizal menyentuh pundakku. Dengan lirih dia berucap, "Kamu sudah
capek seharian bekerja, Santi. Tidurlah, besok kamu harus bangun khan.."
Aku
hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Mas Rizal kemudian
melanjutkan memasak. Namun aku tetap termangu di sudut dapur. Hingga
kembali Mas Rizal menegurku.
"Santi, kenapa belum masuk ke
kamarmu. Nanti kalau kamu kecapekan dan terus sakit, yang repot kan
kita juga. Sudahlah, aku bisa masak sendiri kalau hanya sekedar bikin
mie seperti ini."
Belum juga habis ingatanku saat kami berdua
sedang nonton televisi di ruang tengah, sedangkan Bapak dan Ibu Rahadi
sedang tidak berada di rumah. Entah kenapa tiba-tiba Mas Rizal
memandangiku dengan lembut. Pandangannya membuatku jadi salah tingkah.
"Kamu cantik, Santi."
Aku cuma tersipu dan berucap,
"Teman-teman Mas Rizal di kampus kan lebih cantik-cantik, apalagi mereka kan orang-orang kaya dan pandai."
"Tapi
kamu lain, Santi. Pernah tidak kamu membayangkan jika suatu saat ada
anak majikan mencintai pembantu rumahtangganya sendiri?"
"Ah... Mas Rizal ini ada-ada saja. Mana ada cerita seperti itu", jawabku.
"Kalau kenyataannya ada, bagaimana?"
"Iya... nggak tahu deh, Mas."
Kata-katanya
itu yang hingga saat ini membuatku selalu gelisah. Apa benar yang
dikatakan oleh Mas Rizal bahwa ia mencintaiku? Bukankah dia anak
majikanku yang tentunya orang kaya dan terhormat, sedangkan aku cuma
seorang pembantu rumahtangga? Ah, pertanyaan itu selalu terngiang di
benakku.
Tibalah aku memasuki bulan ke tujuh masa kerjaku. Sore
ini cuaca memang sedang hujan meski tak seberapa lebat. Mobil Mas Rizal
memasuki garasi. Kulihat pemuda ini berlari menuju teras rumah. Aku
bergegas menghampirinya dengan membawa handuk untuk menyeka tubuhnya.
"Bapak belum pulang?" tanyanya padaku.
"Belum, Mas."
"Ibu... pergi..?"
"Ke rumah Bude Mami, begitu ibu bilang."
Mas
Rizal yang sedang duduk di sofa ruang tengah kulihat masih tak berhenti
menyeka kepalanya sembari membuka bajunya yang rada basah. Aku yang
telah menyiapkan segelas kopi susu panas menghampirinya. Saat aku
hampir meninggalkan ruang tengah, kudengar Mas Rizal memanggilku.
Kembali aku menghampirinya.
"Kamu tiba-tiba membikinkan aku
minuman hangat, padahal aku tidak menyuruhmu kan", ucap Mas Rizal
sembari bangkit dari tempat duduknya.
"Santi, aku mau bilang bahwa aku menyukaimu."
"Maksud Mas Rizal bagaimana?"
"Apa aku perlu jelaskan?" sahut Mas rizal padaku.
Tanpa
sadar aku kini berhadap-hadapan dengan Mas Rizal dengan jarak yang
sangat dekat, bahkan bisa dikatakan terlampau dekat. Mas Rizal meraih
kedua tanganku untuk digenggamnya, dengan sedikit tarikan yang
dilakukannya maka tubuhku telah dalam posisi sedikit terangkat merapat
di tubuhnya. Sudah pasti dan otomatis pula aku semakin dapat menikmati
wajah ganteng yang rada basah akibat guyuran hujan tadi. Demikian pula
Mas Rizal yang semakin dapat pula menikmati wajah bulatku yang dihiasi
bundarnya bola mataku dan mungilnya hidungku.
Kami berdua tak
bisa berkata-kata lagi, hanya saling melempar pandang dengan dalam
tanpa tahu rasa masing-masing dalam hati. Tiba-tiba entah karena
dorongan rasa yang seperti apa dan bagaimana bibir Mas Rizal menciumi
setiap lekuk mukaku yang segera setelah sampai pada bagian bibirku, aku
membalas pagutan ciumannya. Kurasakan tangan Mas Rizal merambah naik ke
arah dadaku, pada bagian gumpalan dadaku tangannya meremas lembut yang
membuatku tanpa sadar mendesah dan bahkan menjerit lembut. Sampai
disini begitu campur aduk perasaanku, aku merasakan nikmat yang
berlebih tapi pada bagian lain aku merasakan nikmat yang berlebih tapi
pada bagian lain aku merasakan takut yang entah bagaimana aku harus
melawannya. Namun campuran rasa yang demikian ini segera terhapus oleh
rasa nikmat yang mulai bisa menikmatinya, aku terus melayani dan
membalas setiap ciuman bibirnya yang di arahkan pada bibirku berikut
setiap lekuk yang ada di dadaku dijilatinya. Aku semakin tak kuat
menahan rasa, aku menggelinjang kecil menahan desakan dan gelora yang
semakin memanas.
Ia mulai melepas satu demi satu kancing baju
yang kukenakan, sampailah aku telanjang dada hingga buah dada yang
begitu ranum menonjol dan memperlihatkan diri pada Mas Rizal. Semakin
saja Mas Rizal memainkan bibirnya pada ujung buah dadaku, dikulumnya,
diciuminya, bahkan ia menggigitnya. Golak dan getaran yang tak pernah
kurasa sebelumnya, aku kini melayang, terbang, aku ingin menikmati
langkah berikutnya, aku merasakan sebuah kenikmatan tanpa batas untuk
saat ini.
Aku telah mencoba untuk memerangi gejolak yang meletup
bak gunung yang akan memuntahkan isi kawahnya. Namun suara hujan yang
kian menderas, serta situasi rumah yang hanya tinggal kami berdua,
serta bisik goda yang aku tak tahu darimana datangnya, kesemua itu
membuat kami berdua semakin larut dalam permainan cinta ini. Pagutan
dan rabaan Mas Rizal ke seluruh tubuhku, membuatku pasrah dalam
rintihan kenikmatan yang kurasakan. Tangan Mas Rizal mulai mereteli
pakaian yang dikenakan, ia telanjang bulat kini. Aku tak tahan lagi,
segera ia menarik dengan keras celana dalam yang kukenakan. Tangannya
terus saja menggerayangi sekujur tubuhku. Kemudian pada saat tertentu
tangannya membimbing tanganku untuk menuju tempat yang diharapkan,
dibagian bawah tubuhnya. Mas Rizal terdengar merintih.
Buah
dadaku yang mungil dan padat tak pernah lepas dari remasan tangan Mas
Rizal. Sementara tubuhku yang telah telentang di bawah tubuh Mas Rizal
menggeliat-liat seperti cacing kepanasan. Hingga lenguhan di antara
kami mulai terdengar sebagai tanda permainan ini telah usai. Keringat
ada di sana-sini sementara pakaian kami terlihat berserakan
dimana-mana. Ruang tengah ini menjadi begitu berantakan terlebih sofa
tempat kami bermain cinta denga penuh gejolak.
Ketika senja
mulai datang, usailah pertempuran nafsuku dengan nafsu Mas Rizal. Kami
duduk di sofa, tempat kami tadi melakukan sebuah permainan cinta,
dengan rasa sesal yang masing-masing berkecamuk dalam hati. "Aku tidak
akan mempermainkan kamu, Santi. Aku lakukan ini karena aku mencintai
kamu. Aku sungguh-sungguh, Santi. Kamu mau mencintaiku kan..?" Aku
terdiam tak mampu menjawab sepatah katapun.
Mas Rizal menyeka
butiran air bening di sudut mataku, lalu mencium pipiku. Seolah dia
menyatakan bahwa hasrat hatinya padaku adalah kejujuran cintanya, dan
akan mampu membuatku yakin akan ketulusannya. Meski aku tetap bertanya
dalam sesalku, "Mungkinkah Mas Rizal akan sanggup menikahiku yang hanya
seorang pembantu rumahtangga?"
Sekitar pukul 19.30 malam,
barulah rumah ini tak berbeda dengan waktu-waktu kemarin. Bapak dan Ibu
Rahadi seperti biasanya tengah menikmati tayangan acara televisi, dan
Mas Rizal mendekam di kamarnya. Yah, seolah tak ada peristiwa apa-apa
yang pernah terjadi di ruang tengah itu.
Sejak permainan cinta
yang penuh nafsu itu kulakukan dengan Mas Rizal, waktu yang berjalanpun
tak terasa telah memaksa kami untuk terus bisa mengulangi lagi nikmat
dan indahnya permainan cinta tersebut. Dan yang pasti aku menjadi
seorang yang harus bisa menuruti kemauan nafsu yang ada dalam diri. Tak
peduli lagi siang atau malam, di sofa ataupun di dapur, asalkan keadaan
rumah lagi sepi, kami selalu tenggelam hanyut dalam permainan cinta
denga gejolak nafsu birahi. Selalu saja setiap kali aku membayangkan
sebuah gaya dalam permainan cinta, tiba-tiba nafsuku bergejolak ingin
segera saja rasanya melakukan gaya yang sedang melintas dalam benakku
tersebut. Kadang aku pun melakukannya sendiri di kamar dengan
membayangkan wajah Mas Rizal. Bahkan ketika di rumah sedang ada Ibu
Rahadi namun tiba-tiba nafsuku bergejolak, aku masuk kamar mandi dan
memberi isyarat pada Mas Rizal untuk menyusulnya. Untung kamar mandi
bagi pembantu di keluarga ini letaknya ada di belakang jauh dari
jangkauan tuan rumah. Aku melakukannya di sana dengan penuh gejolak di
bawah guyuran air mandi, dengan lumuran busa sabun di sana-sini yang
rasanya membuatku semakin saja menikmati sebuah rasa tanpa batas
tentang kenikmatan.
Walau setiap kali usai melakukan hal itu
dengan Mas Rizal, aku selalu dihantui oleh sebuah pertanyaan yang
itu-itu lagi dan dengan mudah mengusik benakku: "Bagaimana jika aku
hamil nanti? Bagaimana jika Mas Rizal malu mengakuinya, apakah keluarga
Bapak Rahadi mau merestui kami berdua untuk menikah sekaligus sudi
menerimaku sebagai menantu? Ataukah aku bakal di usir dari rumah ini?
Atau juga pasti aku disuruh untuk menggugurkan kandungan ini?" Ah..
pertanyaan ini benar-benar membuatku seolah gila dan ingin menjerit
sekeras mungkin. Apalagi Mas Rizal selama ini hanya berucap: "Aku
mencintaimu, Santi." Seribu juta kalipun kata itu terlontar dari mulut
Mas Rizal, tidak akan berarti apa-apa jika Mas Rizal tetap diam tak
berterus terang dengan keluarganya atas apa yang telah terjadi dengan
kami berdua.
Akhirnya terjadilah apa yang selama ini kutakutkan,
bahwa aku mulai sering mual dan muntah, yah.. aku hamil! Mas Rizal
mulai gugup dan panik atas kejadian ini.
"Kenapa kamu bisa hamil sih?" Aku hanya diam tak menjawab.
"Bukankah aku sudah memberimu pil supaya kamu nggak hamil. Kalau begini kita yang repot juga..."
"Kenapa mesti repot Mas? Bukankah Mas Rizal sudah berjanji akan menikahi Santi?"
"Iya..
iya.. tapi tidak secepat ini Santi. Aku masih mencintaimu, dan aku
pasti akan menikahimu, dan aku pasti akan menikahimu. Tetapi bukan
sekarang. Aku butuh waktu yang tepat untuk bicara dengan Bapak dan Ibu
bahwa aku mencintaimu..."
Yah... setiap kali aku mengeluh soal
perutku yang kian bertambah usianya dari hari ke hari dan berganti
dengan minggu, Mas Rizal selalu kebingungan sendiri dan tak pernah
mendapatkan jalan keluar. Aku jadi semakin terpojok oleh kondisi dalam
rahim yang tentunya kian membesar.
Genap pada usia tiga bulan
kehamilanku, keteguhkan hatiku untuk melangkahkan kaki pergi dari rumah
keluarga Bapak Rahadi. Kutinggalkan semua kenangan duka maupun suka
yang selama ini kuperoleh di rumah ini. Aku tidak akan menyalahkan Mas
Rizal. Ini semua salahku yang tak mampu menjaga kekuatan dinding imanku.
Subuh
pagi ini aku meninggalkan rumah ini tanpa pamit, setelah kusiapkan
sarapan dan sepucuk surat di meja makan yang isinya bahwa aku pergi
karena merasa bersalah terhadap keluarga Bapak Rahadi.
Hampir
setahun setelah kepergianku dari keluarga Bapak Rahadi, Aku kini telah
menikmati kehidupanku sendiri yang tak selayaknya aku jalani, namun aku
bahagia. Hingga pada suatu pagi aku membaca surat pembaca di tabloid
terkenal. Surat itu isinya bahwa seorang pemuda Rizal mencari dan
mengharapkan isterinya yang bernama Santi untuk segera pulang. Pemuda
itu tampak sekali berharap bisa bertemu lagi dengan si calon isterinya
karena dia begitu mencintainya.
Aku tahu dan mengerti benar
siapa calon isterinya. Namun aku sudah tidak ingin lagi dan pula aku
tidak pantas untuk berada di rumah itu lagi, rumah tempat tinggal
pemuda bernama Rizal itu. Aku sudah tenggelam dalam kubangan ini. Andai
saja Mas Rizal suka pergi ke lokalisasi, tentu dia tidak perlu harus
menulis surat pembaca itu. Mas Rizal pasti akan menemukan calon
istrinya yang sangat dicintainya. Agar Mas Rizal pun mengerti bahwa
hingga kini aku masih merindukan kehangatan cintanya. Cinta yang
pertama dan terakhir bagiku.
TAMAT