Baby sitter
Pembaca yang sedang santai, kali ini aku
akan menceritakan kejadian pada saat aku berumur kurang lebih 19 tahun.
Kisah ini sebenarnya bermula ketika aku masih kecil, kira-kira berumur
7 tahun, dimana pada saat itu Ibu menyerahkanku kepada seorang wanita
pengasuh (baby sitter) bernama Sari untuk mengurus segala keperluanku,
baik mandi, makan, main, dll. Pengasuhku pada saat itu sebenarnya masih
tergolong anak-anak juga dan kira-kira berumur 13 tahunan, dengan
postur badan agak tinggi dibandingkan dengan usianya. Setiap hari,
tugasnya secara rutin yaitu pagi-pagi memandikan kemudian menggantikan
bajuku dan jika sudah agak siang, kami bermain bersama-sama.
Pada
saat itu aku belum mempunyai perasaan apa-apa kecuali perasaan seorang
anak terhadap pengasuhnya. Setiap memandikanku ia pasti selalu
menggosok seluruh badanku, tidak ketinggalan pula alatku yang masih
kecil. Hal ini berjalan kira-kira 3 tahun sampai dengan ia dinikahkan
oleh orang tuanya dan diminta pulang ke desanya. Sejak saat itu aku
sudah tidak pernah bertemu lagi dengannya. Waktu berjalan terus, dan
pertumbuhan badanku berkembang pesat menjadi seorang remaja berusia 19
tahun yang tampan. Pada suatu hari, keluarga kami kedatangan tamu dan
ternyata dia adalah bekas pengasuhku dulu. Ia pun telah tumbuh menjadi
sorang wanita muda yang matang dengan postur tubuhnya yang mempesona.
Meskipun wajahnya tidak begitu cantik, tapi kemulusan dan kehalusan
kulitnya dapat menambah nilai kecantikannya tersebut, maklum saja
karena ia berasal dari desa yang berhawa dingin.
"Permisi.., Bu...", sapanya kepada ibuku.
"Oh.. kamu.. Sari... Kok sekarang sudah segede ini. mana suami kamu?", tanya ibuku.
"Sudah pisah kok Bu".
"Lho, kenapa?".
"Itu Bu..., dia kawin sama perempuan lain".
"Oh ya Bu...., mana Den Rully?".
"Lha itu dia di sebelah kamu....".
Memang
dari tadi aku terus memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Buah dadanya yang besar dibalut dengan baju lengan panjang warna
biru tua, pinggulnya yang bulat dibungkus dengan rok warna cream
dibawah lutut. Ck..., ck..., bukan main mantan pengasuhku ini...,
pikirku.
"Aduh Deen...., kok sudah besar gini toch, mana ganteng lagi", sapanya.
"Lha iya wong diberi makan tiap hari kok", jawabku.
"Wah kalo gini sich, kalo ketemu di jalan, saya pasti pangling lho".
"Aku juga gitu.. kok Mbak... pangling sama Mbak. Udah punya anak belum?".
"Belum Den".
"Jangan
panggil Den ach..., Mas aja gitu lho. Kan Mbak sudah bukan pengasuhku
lagi. Jadi hubungan kita seperti temen aja, ya khan".
"Iya deh Mas".
"Udah sana istirahat dulu", kata ibuku menyela.
"Terima kasih..., Bu".
Kemudian
Sari pergi ke belakang mencari kamarnya yang dulu untuk tidur. Sejak
kepergian Sari dulu, kamar tersebut hanya dijadikan tempat untuk
menyeterika pakaian. Dan sejak aku dan saudaraku sudah berangkat
remaja, Ibu tidak lagi mempekerjakan pembantu, sehingga kamar tersebut
dapat digunakan lagi oleh Sari. Pada suatu hari, Ibu sedang ke pasar,
saudaraku sedang kuliah, dan karena aku perlu pakaian untuk pergi ke
rumah teman, maka aku menyeterika baju di ruang seterika. Di situ
kebetulan tidak ada Sari, entah kemana.
Tetapi tiba-tiba Sari masuk kamar dengan rambut yang masih basah. Kelihatannya dia baru saja selesai mandi dan keramas.
"Oh ada mas Rully toch".
"Maaf ya Mbak ngganggu, sebentar kok, cuman satu baju".
"Kalo boleh saya bantu Mas..., biar cepat selesai".
"Ah.. nggak usah. Makin lama di sini makin seneng kok..", godaku.
"Ah.. Mas bisa aja".
"Mbak sekarang kerjanya di mana?".
"Nggak ada Mas, makanya saya mau minta tolong sama Ibu".
"Aku dukung dech Mbak, biar nanti bisa mandiin aku lagi", godaku lagi.
"Kan udah nggak bisa lagi".
"Kenapa?
Apa karena saya sudah besar?", suaraku sudah mulai terbata-bata menahan
nafsu yang sudah mulai datang. Kulihat mukanya memerah. Dadanya turun
naik, sehingga semakin terlihat menonjol di balik blusnya yang agak
tipis.
"Kan malu Mas..".
"Ya kalo dilihat orang sich malu, tapi kalo cuma berdua kan enggak", pancingku.
Tanganku
mulai mencoba memegang tangan kirinya. Ia diam saja. Tangan kiriku
menarik bahunya yang kanan untuk mendekatkannya ke tubuhku. "Jangan
Mas..., nanti dilihat orang... nanti Ibu datang", katanya bergetar.
Tampaknya ia juga sudah mulai merasakan rangsanganku.Aku sudah tidak
peduli, kutarik dengan perlahan-lahan wajahnya ke wajahku, dan dengan
lembut kucium bibirnya...., "Uuch..., ehm...., ja..., ngan.., Maass...,
ach..", dan dengan perlahan-lahan lidahku kumasukkan ke mulutnya dan
kumainkan, "Aach..., saya mohon Mas..., jangan....", dengan lemah
lembut didorongnya tubuhku untuk menjauhi dirinya.
Tapi nafsuku
pada saat itu seakan-akan sudah tidak mau diajak kompromi lagi. Kutarik
lagi dengan agak memaksa tubuhnya kedalam pelukanku, dan kucium
lehernya yang mulus..., kubuka kancing blusnya yang paling atas,
sehingga tonjolan buah dadanya yang besar sedikit terlihat sehingga
membuatku semakin benafsu..., "Aduh.., Mas..., jangan Mas...",
pintanya. Namun tiba-tiba pintu diketuk dari luar..., "Tok..., tok...,
Rully.., tolong bukain pintunya..", Ibu datang..., waduh.., aku
menggumam dalam hati... "Mas, itu ibu datang...", kata Sari sambil
membenahi dirinya yang agak kusut karena ulahku tadi.
Siang itu
nafsuku belum tercapai. Baru pertama kali itu aku melakukan hal-hal
seperti di atas dengan seorang wanita. Selama seharian aku tidak dapat
memejamkan mata. Pikiranku terus melayang-layang sampai beberapa hari.
Kupikir betapa nikmatnya apabila aku dapat menyelesaikan permainan
diatas sampai tuntas. Kesempatan lain ternyata masih ada, ketika itu
seisi rumah sedang keluar dan cuaca di luar agak dingin, karena hari
menjelang sore. Saat itu Sari sedang menyapu ruang tengah. Dengan hanya
mengenakan kaos oblong berwarna putih agak longgar, bercelana pendek
jeans, Sari tampak seperti bukan bekas seorang pengasuh. Kulitnya yang
putih bersih, dengan rambut tergerai sebahu dan buah dada yang besar
membuat jantungku berdegup tidak karuan.
Aku sudah tidak tahan
lagi, kutubruk tubuh Sari, kupeluk, kucium bibir, leher dan kembali
lagi ke bibirnya. Kulumat bibirnya, meskipun dia sedikit agak meronta,
tetapi tidak sekeras pada saat sebelumnya. Tanganku mulai beraksi,
meraba pinggangnya, kemudian menyibakkan kaos oblongnya ke atas
sehingga sampailah pada kaitan tali BH yang berada di belakangnya.
Kubuka kaitannya, kemudian tanganku merayap ke depan hingga
tersentuhlah buah dadanya yang masih padat, meskipun agak turun sedikit
saking besarnya. Kuremas dengan perlahan sekali..., kupilin putingnya
yang sudah berdiri tegak. "Ach..., ach...", desah Sari. Sekarang dia
sudah tidak meronta lagi, tetapi bahkan terlihat menikmati apa yang
kulakukan. Kusibak lebih keatas lagi kaosnya dan kuturunkan mulutku ke
putingnya, kucium..., kemudian kusedot dengan perlahan sekali....,
"Ach..., aduh mas...., aduh Mas..., Maas... Kepalanya menengadah
seakan-akan menyodorkan buah dadanya untuk lebih dimainkan olehku.
Lama
mulutku bermain di buah dadanya sampai akhirnya tangannya memegang
tanganku dan membimbingnya ke bawah untuk menjamah kewanitaannya. Aku
turuti keinginannya dan kugosok vaginanya dari luar celananya....,
"Auh.., auh... nikmat.. Mas". Sekarang posisi tangan kananku sedang
menggosok kemaluannya dan mulutku terus mempermainkan buah dadanya.
Kemudian tanganku masuk ke dalam celana jeansnya, dan...., aduh mak...,
tersentuhlah rambut halus yang telah lembab. "Uuch.., uch...", dia
mendesah. Sambil terpejam menikmati apa yang kulakukan, tanganku mulai
menyibak rambut kemaluannya tadi dan tersentuhlah olehku klitnya... dan
"Aauch..., auch... Mas.. nikmat sekali".
Beberapa saat lamanya
ia pasrah dan diam tanpa reaksi. Lama kelamaan, mungkin ia sendiri
tidak tahan, hingga ia pun mulai menggerakkan tangannya mula-mula
membelai dadaku kemudian turun ke perut dan akhirnya ke celana dalamku.
pada saat itu aku mengenakan celana pendek olah raga, dengan kaus
singlet diatasnya. Dia menyentuh penisku, diremasnya dengan lembut,
dikocoknya dari luar... "Uugh.., ugh...", aku merintih kenikmatan
"Aadduhh Mbak..., Mbak pintar deh...", "Ah, Mas juga pintar kok...,
malah terlalu pintar dibandingkan usia Mas sendiri...", desahnya.
Kemudian kuseret dia masuk ke dalam kamarku, dan kurebahkan di atas
dipanku. Dia kemudian membalikkan tubuhnya sehingga berada diatasku..
aduh mak, buah dadanya betul-betul indah menggantung di atas hidungku.
Kucium dengan gemas dan kumainkan putingnya dengan mulutku,
"Aaacchh..., auch Mas..., auch.., auch..", sementara itu kulepaskan
celana jeans dan celana dalamnya, sambil tangan kiriku terus memeluk
pinggangnya dan tangan kananku meremas pantatnya yang masih bulat
segar, dan mulutku tetap berada di putingnya. Sementara itu tangannya
meremas penisku dengan sedikit mengocok.
Tiba-tiba dia
membalikkan tubuhnya sehingga kami berada pada posisi 69. Dengan nafsu
dimasukkannya penisku ke dalam mulutnya "Aach..., ach..", bandel juga
Mbak ini batinku, tapi tentu saja aku juga menikmatinya. Dikocoknya
penisku dengan mulutnya. Tampaknya ia sudah berpengalaman dengan
gaya-gaya yang aduhai. Aku tidak mau kalah, kubuka kewanitaannya dengan
tangan, kemudian kujulurkan lidahku dan mulailah aku menjilati bagian
yang paling terlarang itu, "Uuch..., uch...". Kami berpagut lama sekali
hingga rasa-rasanya aku ingin segera memasukkan alatku ke liang
surgawinya. "Maaas...". "Ya, Mbak...". "Tolong dong dimasukin..., saya
udah nggak tahan nih.... udah lama saya nggak disentuh, tolong dong
mas....". Aku berpikir sejenak..., bagaimana kalau nanti dia hamil,
bagaimana nanti kalau ketahuan oleh Ibu, dll. Tapi aku sendiri
sebetulnya juga sudah tidak tahan..., dan akhirnya, "Baik Mbak, ta..
pi..., kalau Mbak hamil gimana dong..." "Saya pakai KB kok mas....",
katanya. "Baik Mbak...", kemudian tubuhnya membalik kembali, tetapi
posisinya masih di atas. Ia pegang penisku dengan lembut dan
menuntunnya memasuki liang surgawinya, dan., "Aachhh.., sshhh...,
sshh..". Penisku serasa dijepit oleh sesuatu yang berdenyut-denyut
lembut, dan itu adalah kewanitaannya.
Dia memompa dari atas naik
turun beberapa kali, kemudian akhirnya dia merebahkan dirinya ke
samping saya, dan meminta saya untuk menyetubuhinya dari atas. Aku naik
ke tubuhnya dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya dan mulailah aku
memompa dari atas, "Aauch..., auucchhh, Mass.., saya mau pipiss...,
aachh..., aachhhh...", dijepitnya pinggangku dengan kedua kakinya.
Penisku serasa akan pecah disedot oleh vaginanya yang bersamaan dengan
keluarnya "pipis"nya dan akhirnya akupun tidak tahan, dan, "Aach..",
maniku muncrat di dalam kewanitaannya, "Heh.., heh.", kamipun lunglai
ngos-ngosan. Sambil saling tersenyum, kucium bibirnya, kupeluk, dan
sambil berkata, "Terima kasih ya Mbak..", "Malah aku yang harus
berterima kasih sama Mas, karena Mas telah memberi saya kenikmatan yang
sudah lama tidak saya peroleh". Pada hari-hari selanjutnya, kami
bersikap biasa saja seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Sekian dulu ya, pembaca. Bagi yg ingin berkomentar (terutama untuk para cewek), silakan email saya.
TAMAT