Biru & More Blue
Saat usia TK, aku pernah memergoki kedua
orang tuaku 'menunaikan tugas' rumah tangga, karena tempat tidurku
hanya terpisah oleh kain gorden dengan kedua orang tuaku. Pada usia SD,
hobby mengintip orang mandi telah membakar otakku untuk lebih 'encer'.
Sampai kemudian sejak SMP pelajaran 'mempermainkan jari' telah
kulampaui dengan penuh keberanian dan kenekadan setiap kunaiki
kendaraan umum, gara-gara hobby baruku nonton film biru.
Saat di
SMA, seorang teman menertawakan ketololanku karena belum pernah
melakukan onani dan hanya mengandalkan mimpi basah sementara adik-adik
kelas antri untuk menjadi mangsaku (mengingat saat itu aku aktif
sebagai ketua OSIS).
Ketika sekolah di Selandia dan Belanda,
pengalamanku bertambah sedikit demi sedikit sampai akhirnya menjadi
co-pilot dan berpetualang ke pelosok negeri. Salah satu kisahnya adalah
berikut ini.
Ini adalah yang kelima kalinya aku mendapat
schedule 5 hari Ambon-Ternate. Kali ini capt. Frank yang hobby bobok
masih menjadi bosku, di dampingi seorang pramugari montok bernama yuni
dan pramugara gebleg bernama Ardi. Seperti biasa hari pertama adalah
hari perkenalan antar crew. Capt. Frank orangnya gempal tapi funky,
terkenal jago 'cari' cewek kepulauan di kalangan senior. Ardi seorang
pramugara senior yang tak kalah gila dengan para captain 'girang'. Yuni
pramugari senior berwajah manis bertubuh montok karena memakai spiral
sebagai pengaman kalo terjadi 'insiden'. Sementara aku hanyalah ampas
bila dibandingkan mereka bertiga pada saat itu.
Malam kedua
setelah last landing, Om Frank kutemui sedang ngobrol dengan petugas
restaurant hotel Ambon Manise, sembari menunggu ketiga anak buahnya
makan malam bersama.
Lima menit kemudian kedua rekan lainnya
menyusul kami. Kami makan malam diselingi gelak tawa sembari ngobrol
tentang pengalaman-pengalaman erotis selama tugas terbang, sementara
aku cuma menjadi pendengar yang 'memendam' perasaan. Demikian juga
schedule hari ketiga. Pada malam keempat nampak kejenuhan mulai
menggelitik kami berempat, namun nampaknya si captain dan sang
pramugara telah memiliki jam terbang cukup banyak untuk menyelesaikan
masalah mereka masing-masing. Yuni nampaknya juga tak berminat untuk
merasakan kegerahan mereka berdua, hal ini nampak sekali karena selama
tiga hari ini Yuni lebih lengket padaku, maklum dia mending milih
sasaran yang lebih 'empuk' kalau terpaksa. Hal ini diperkuat ketika
pada malam terakhir (hari kelima) Yuni semakin berani mencari
kesempatan ngobrol berdua denganku. Memang aku nggak good looking amat,
cuma kalau sudah nggak kuat nahan apa mau di kata, begitulah kira-kira
opininya di satu kesempatan kami berdua.
Malam itu, pukul tujuh,
Yuni menelepon, katanya ingin ngobrol. Kucari berbagai dalih agar itu
tak terjadi. Yuni memanggilku ke kamarnya, biar lebih enak ngobrolnya.
Karena aku tidak mau dimasukkan ke daftar gosipnya, aku tantangin biar
dia ke kamarku. Eh, dasar sudah kebelet kali, Yuni menyambut
tantanganku, setelah menutup telepon, dia mengetuk pintu kamarku.
Sekarang aku yang panik. Yuni masuk ke kamarku dengan daster mini,
kakinya yang mulus terlihat indah. Kemontokannya memang tidak bisa
disangkal. Tergoda juga sih.., but prinsip is prinsip.
Kini Yuni
di depan mataku, tinggal sontok dan tanpa tawar lagi namun
keberuntungan masih di pihakku. Telepon berdering, ternyata co-pil dari
pesawat lain yang ternyata temanku, juga nge-RON (Rest Over Night) di
tempat yang sama. Namanya Hari.
"Jul.., lagi ngapain lu?"
"Bengong.., kenapa?"
"Bantuin gue dong !"
"Bantuin ? emang kenapa?"
Lalu
Hari bercerita, katanya saat dia jalan-jalan sempat berkenalan dengan
tiga ABG setempat, manis-manis, tapi hari kewalahan mengaturnya. Hari
kemudian minta bantuanku untuk menemaninya.
"Thanks god..", batinku
karena aku akhirnya punya alasan cabut dari terkaman macan dan dengan
sedikit 'speak', aku terlepas dari cengkraman Yuni, yang kemudian
kembali ke kamarnya dengan muka di tekuk.
Singkat cerita, kami (aku & Hari) berhasil di kadalin
oleh tiga ABG lokal Ambon tapi aku tak terlalu sekecewa Hari yang telah
bermimpi sebelum tidur. Sekembali ke hotel kutelepon Yuni, namun dengan
suara malas Yuni memaafkanku yang telah meninggalkannya dalam keadaan
horny tadi. Yah, padahal aku sudah sedikit berubah pikiran. Kututup
telepon, lalu turun ke bawah hotel, di mana ada bar & karaoke di
sana. Kupikir ada baiknya melepaskan ketegangan, karena besok hari
terakhir di Ambon (setelah itu aku belum pernah ke Ambon lagi hingga
sekarang Ambon dilanda tragedi)
Di tempat karaoke, aku datangi
bartender yang juga merangkap petugas hotel. Namanya Alex dan kami
biasa bertukar cerita tentang kehidupan malam. Menjelang jam dua belas,
sudah empat lagu kunyanyikan bergantian dengan pengunjung lainnya. Jam
satu, karaoke akan tutup. Akibat minum bir, rasa kantukku telanjur
lenyap.
Jam setengah satu Alex mengahampiriku, "Jul".
"Ada apa Lex?"
"Liat cewe sebelah kananmu, tempat duduk paling ujung !"
"Iya, kenapa Lex?", tanyaku setelah melihat seorang wanita bertubuh sintal, berbaju rapi bercelana jeans ketat.
"Katanya, dia tertarik kaos kamu, dia nanya itu kaos joger apa bukan.."
Memang, kebetulan aku memakai kaos joger hijau tua bertuliskan: "Ma'af anu saya cuma 'L' "
"Cakep nggak Lex? dari sini terlalu gelap"
Alex hanya mengankat dua jempolnya. "Kamu kenal Lex?"
"Dia
sering ke mari jul..., katanya baru sekali liat kamu, kalo boleh kaosmu
mau dia beli, katanya kaos joger cuma ada di Bali..."
"Lah, ntar gua pake apa Lex ?"
Alex diam menunggu reaksiku
"Terus bilang apalagi Lex ?"
"Dia nanyain nama kamu sama asalmu... katanya mukamu seperti orang jawa.."
"Kamu kasih tau aku kerja di mana?"
"Beta bilang aku belum kenal juga Jul.."
"Ok.., kali ini mau tolongin aku gak Lex?"
"Pasti Jul, asal jangan lupa temen aja.., apa yang Beta bisa bantu?"
"Tolong kasih nomor kamarku ke dia, suruh dia ambil sendiri kaosnya di kamarku, nggak usah bayar..."
"Oke boss.!"
"Dan..."
"Ada lagi..?"
"Kasih aja nama asliku, tapi bilangin kalo aku gigolo dari Jawa"
"Udah..?"
"Udah itu aja, sekarang aku mau ke kamar dulu, persiapan..."
Alex
nyengir, tapi dia paham luar kepala akan maksudku. Setelah meyelipkan
beberapa lembar uang tip dan membayar bir, aku kembali ke kamar.
Tiba
di kamar, semua perabot yang berhubungan dengan profesiku kumasukkan ke
dalam lemari, dari sepatu, koper, topi, dasi, ID..., pokoknya ruangan
kurapikan dengan kilat agar terkesan aku sedang berlibur di Ambon.
Ternyata dugaanku benar, telepon berdering. Setelah kuangkat terdengar suara merdu seorang wanita.
"Kaosnya udah dibungkus Dik..?"
"Eh.., udah Mbak.., kirain nggak beneran..", jawabku menangkap isyaratnya.
"Kamar 306 kan?"
"Betul Mbak.."
"Saya ke sana?"
"Saya tunggu Mbak.."
"Krekk!",
telepon ditutup. Dag.., dig.., dug juga aku menunggu saking tegangnya.
Sengaja kubuka pintu sedikit, tak sampai 2 menit, pintu kamarku terbuka
dengan pelan. Kemudian nampak seraut wajah cantik melongok kamarku.
"306?"
"Masuk aja Mbak..."
Wanita
cantik berumur sekitar 28 itu masuk. Rambutnya dipotong saggy, lurus
hitam sepundak, matanya sendu sedikit kubil, hidungnya bangir, mulutnya
mungil indah, lehernya jenjang, kulitnya putih, dadanya nampak penuh,
sekitar 36B. Tubuhnya indah sekali deh, pinggangnya ramping, kakinya
indah.
Sejenak aku tercekat, ada sedikit sesal jika membohongi manusia secantik ini ada juga remang di bagian belakang leherku.
"Jangan-jangan bukan manusia..", pikirku.
"Halo..?", suaranya menyadarkanku.
"Eh.., ng.., iya Mbak.., ini..", jawabku agak parau sambil menunjuk ke arah bungkusan kaos joger.
"Kepalang tanggung", begitu pikirku pada akhirnya.
"Nova.."
"Lina.."
Tangan lembutnya menyambut tanganku yang mulai dingin.
"Duduk dulu Mbak..", kataku sok santai sambil melangkah ke arah kamar mandi.
Di kamar mandi aku menenangkan diri. Kutarik napas dalam-dalam.
"Sabar Jul..", begitulah kira-kira kata hatiku.
Sekitar
dua menit kemudian darahku sudah mengalir lebih tenang. Ketika keluar
dari kamar mandi, Lina sedang menelepon. Lina menoleh, menutup telepon
dan tersenyum.
"Siapa Lin?"
"Ngga ada suara, telepon kaleng kali"
Aku tersenyum kecut, "wah pasti si Yuni", pikirku.
"Udah makan?"
Lina
mengangguk, kuambil dua kaleng green sand dari kulkas kecil, dan
kusodorkan rokok A mild menthol. Lina mengambil sebatang rokok, dan
langsung menyalakannya. Selanjutnya, kami bercerita tentang pengalaman
kami. Ternyata Lina adalah seorang wanita panggilan khusus tamu penting
hotel. Tarifnya lumayan tinggi meski masa itu belum jaman likuidasi.
Lina bercerai di usia 22 dengan satu anak laki-laki berusia tiga tahun,
keturunan China campur Manado. Malam ini kebetulan tidak ada "tamu
penting" katanya. Lalu Lina bercerita tentang riwayatnya mencari nafkah
over night seperti ini.
Untuk mengimbanginya, aku mengarang
cerita tentang seorang gigolo muda yang belajar memulai profesinya di
Bali, yaitu aku sendiri. Kuceritakan saat itu aku baru berlibur ke
Ambon sekalian ke rumah teman lama. Setahuku, Lina mengajak bertukar
cerita karena telah diberitahu oleh Alex bahwa aku seorang gigolo.
"Nov, aku nunggu pagi di sini ya ?!"
"Tenang aja Lin.., anggap aja aku pacarmu.."
Lina mecibir mendengar jawabanku.
"Kalau cape tiduran aja Lin.."
"Kamu aja Nov, tanggung udah jam tiga, jam lima aku pulang kok.."
Aku
tersenyum, sekarang aku melangkah ke arah tempat tidur, "Ya udah, aku
aja yang selonjorin kaki, sory ya aku duduk di tempat tidur".
Lina
tersenyum lalu menunduk. Kulihat pipinya memerah. Kugeser dudukku, kami
saling berpandang sejenak, lalu kuberi isyarat dengan mata agar Lina
duduk di sebelahku. Dengan pelan Lina beranjak ke arahku. Mukanya makin
memerah, menambah debaran di hatiku.
Tiba-tiba dengan tak kuduga Lina melepaskan bajunya, "Takut kusut kalo pulang Nov.."
Kututupi
mata takjubku akan keindahan tubuh bagian atasnya yang kini hanya
mengenakan BH hitam tipis. Tampak dua belahan itu tak tertampung dengan
sempurna dan sedikit menyembul di sana sini. Lina masih menunduk saat
sisi pantatnya menyenggol pinggangku.
"Ada yang lain lagi yang kau pikirkan..?", tanyaku agak bergetar.
Lina menggeleng lembut.
"Apakah pikiran kita sama?"
Kali
ini Lina mengangkat wajahnya mencoba menatapku. Matanya.., indah
sekali. Kudekatkan wajahku perlahan, mataku tak pernah lepas dari
matanya. Lina hanya memiringkan sedikit kepalanya. Bibir kami saling
menyentuh, melebur dengan lembut lalu menghangat. Kuraih tangan Lina,
kurangkulkan ke leherku. Bibir Lina semakin hangat, kuraih pinggang
Lina, kutarik sedikit ke bawah hingga rebah tanpa melepaskan pagutan
kami. Kini bibir Lina semakin aktif, kulepaskan pagutanku.., Lina
terkejut lalu menatapku. Kusambut lagi dengan ciuman yang lebih
menggelora. Lidah kami bergelut dan menari di dalam.
Saat panas
mulai hinggap, kutarik tubuhnya dengan pelan hingga Lina duduk di
pangkuanku. Kini Lina yang melepaskan ciumannya terlebih dahulu,
matanya terbalik memutih lalu kepalanya mendongak penuh. Dengan cepat
kusambut leher jenjangnya, putih dan harum. Kujilati dengan nafas agak
memburu.
Lina melenguh, badannya menggelinjang, jari-jari
tanganku di punggungnya mulai mencari tali pengikat BH-nya.., dan
berhasil.., kini permainan benar-benar dimulai. Sambil mengatur nafas
jilatanku menurun ke arah dadanya, lidahku berputar-putar di sekitar
putingnya yang pink kehitaman. Tubuh Lina bagai menari di pangkuanku,
pantatnya mulai bergoyang dengan liar sampai akhirnya, pertahanannya
bobol saat lidahku berekreasi di putingnya, menekan, memutar,
menghisap, menarik-narik kecil puting indahnya.
Tiba-tiba dengan
cepat Lina mendorong dadaku dengan kuat, aku terkejut. Kini posisiku
telentang. Lina di atasku, sekarang matanya tak sendu lagi, dengan agak
kasar Lina menarik kaosku ke atas. Setelah terlepas, lidahnya langsung
memburu puting susuku yang mungil, menjilati dadaku yang agak
kerempeng, menjilat-jilat seputar pusarku. Tanganku tak bisa kugerakkan
dengan leluasa karena kedua tangan Lina mencengkeramnya bagai sedang
memperkosa.
"Ssst..., jangan bergerak dulu..", begitu bisiknya.
Kemudian
Lina berdiri di tempat tidur, dengan agak terburu dia loloskan celana
jeans ketatnya. Sengaja mataku agak kusipitkan agar tak terlihat
terlalu terpesona akan keindahan tubuhnya, dan yang tak kalah indah
adalah momen saat celana dalam hitamnya diturunkan. Striptease di
manapun akan kalah dengan apa yang kulihat saat itu.
Lina
jongkok, kini dengan pelan, layaknya memang telah berjam terbang
tinggi, Lina menarik ritsluitingku dengan pelan, namun sigap sekali
saat menarik lepas blue jeansku. Nampak sekilas kilatan matanya yang
cerah saat melihat apa yang ada di balik GTman-ku Dilepaskannya CD-ku
sebatas paha dan diarahkannya ke arah mulut untuk gerakan wajib BF.
Bagaikan mengulum pindy pop ukuran jumbo, Lina membuat mataku kini
terbalik memutih.
Lina mengurut-urut kepala penisku dengan
bibirnya. (yang aku heran, bibirnya tipis, tapi rasanya tebal bukan
main). Belum puas memperlakukan jagoanku bagai ice cream, kini Lina
menyedotnya, tak sekedar menghisap lagi, sampai akhirnya mulutnya penuh
dengan air maniku. Lina menelannya lalu membersihkan mulutnya.
Kini
giliranku. Tanpa skenario, Lina telah merebahkan tubuhnya. Kuraba
pahanya, kujilati dengkulnya, kubalik tubuhnya, kutarik sedikit
pinggangnya hingga menungging lalu kuciumi pantatnya. Lina terus
menggelinjang, lenguhannya menambah semangat juangku, kedua jempolku
membuka belahan pantatnya dan kuciumi dengan teratur dari paha menuju
ke arah pantatnya lalu sampai ke duburnya dan kujilati duburnya.
Lina
mengerang beberapa kali, kualihkan tanganku ke vaginanya, kuelus-elus
sambil menjilati lubang anusnya yang sangat bersih. Lina membalikkan
tubuhnya, rambutku dijambak, ditarik ke arah vaginanya. Geliatnya
berhenti sejenak saat mulutku mulai menciumi paha bagian dalamnya,
kepalaku dibenamkan ke arah vaginanya. Aku bertahan.., kujilati sekitar
vaginanya dan kuamati clitorisnya.
Woww, mungkin inilah Clitoris
yang paling besar yang pernah kulihat. Ya, clitorisnya berwarna merah
daging mentah, besar sekali.., benar-benar menyembul jelas untuk ukuran
clitoris yang biasanya. Sementara, nafas Lina sudah tak karuandan kini
lidahku kujulurkan mengarah ke clitorisnya yang luar biasa besarnya.
Kujilat dengan mesra, Lina menjerit tertahan, tubuhnya sangat tegang
lalu mengendur. Tiap kujilat tubuhnya mengeras. Dengan gemas kukulum
clitorisnya. Setelah amblas di mulut, kumainkan dengan lidah. Lina
mencengkram kepalaku dengan kuat, sesekali kusedot-sedot lalu jilat,
ambil nafas. Hal ini membuat Lina semakin menggelepar. Bodoh amat,
sudah berapa kali dia orgasme. Saat itu Lina telah membanting-banting
kepala dan pantatnya ke kasur, tangannya mencengkram kencang kepalaku,
sementara keringat telah membasahi tubuh kami berdua.
Beberapa
saat kemudian, penisku yang telah gemas terasa berdenyut-denyut,
meminta bagian, sudah berkali-kali Lina mengerang. Kutarik tangannya
agar melepaskan kepalaku. Akupun sudah tak kuat menahannya, tatapan
Lina bak macan saat melihat penisku siaga satu di depan lubang
surgawinya. Tangannya memegang erat tempat tidur.
Perlahan
dengan napas tersengal-sengal kakinya diangkat, ditariknya sebuah
bantal, ia taruh di bawah pantatnya. Kini tampak jelas kini lubang
vaginanya yang telah menganga, menahan rindu. Kutekan sedikit pahanya
ke arah dadanya. Kusorongkan penisku dengan pelan dan jantan. Saat
penisku menyentuh bibir luar, Lina sudah mengerang dan tubuhnya
menegang namun pantatnya tetap tabah menyangga lubang senggamanya. Saat
setengah masuk, Lina berhenti bergerak, matanya semakin sendu,
tatapannya jauh masuk ke alam mayaku. Dengan sedikit hentakan,
kumasukkan penisku yang menyebabkan mata Lina mendelik, mulutnya
terbuka tapi tak mampu berteriak. Perlahan kuputar, kuaduk, kukocok
dengan pelan nan mersa.
Lambat laun Lina mulai mengikuti irama
yang kumainkan. Saat irama telah sama, bagian bawah tubuh kami seperti
senyawa lalu tenggelam, bergoyang semakin cepat.., semakin cepat..,
lalu pelan lagi. Kami tak mengganti posisi, dengan satu posisipun kami
telah melanglang berbagai buana pagi itu.
Setelah klimaks, kami
tetap berpelukan. Penisku masih dalam pelukan vaginanya yang penuh
cairan. Terasa punggungku sedikit perih, nampaknya kuku Lina
menggoreskan kenangan di situ. Ada beberapa menit kami melebur dalam
nafsu yang mulai terasa hangat di hati. Kami berpelukan lama dalam
posisi ini. Kubiarkan Lina menikmati buaian sisa orgasmenya sampai
kemudian kubalik posisi agar dada Lina agak lega. Kubelai rambut Lina
yang basah oleh keringat, wajahnya sayu dengan sisa-sisa kepuasan
"Lin, udah jam lima kurang lima.."
Lina
tersenyum dan kami bangkit dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Di
bath up kami berendam berpelukan. Lina kudekap dengan mesra dan kami
tak banyak bercakap lagi sesudah itu.
Pukul lima seperempat kami
keluar dari kamar mandi. Setelah memakai pakaiannya, Lina memelukku
erat seakan tak ingin dilepaskannya. Tepat jam setengah enam, Lina
melangkah ke arah pintu setelah sebelumnya memagut bibirku cukup lama.
Dengan anggukan halus kulepas tatapan mata Lina saat keluar dari pintu
kamarku. Aku tersadar ketika dering telepon memecah lamunanku,
terdengar suara captain Frank di sana, "Kamu ikut pulang nggak?"
"Lima menit lagi capt", kataku kosong.
Setelah
berpakaian lengkap, aku turun ke lobby, ternyata mereka berempat telah
menungguku check out. Di perjalanan menuju bandara, captain frank
berbisik "lembur ya?" (lembur = lempengin burung). Aku tersenyum kaget,
rupanya yang semalam meneleponku adalah si captain gebleg.
TAMAT