Mumpung Rumah Sepi
Kisah ini terjadi dalam kehidupan saya
sehari-hari dan berlangsung sampai saat ini. Katakanlah ini kisah
nyata, walau tempat, hari dan tanggal, nama serta isi cerita sedikit
berbeda dengan kenyataannya.
Saya Robby, pria berusia 34 tahun
(saat ini), seorang pengusaha yang berkantor di Bandung, usaha saya
berjalan dengan baik dan tidak terkena imbas krisis moneter. Wajah dan
perawakan saya tergolong keren, tinggi besar, dada bidang, badan
atletis, dan berlibido tinggi.
Singkat cerita, yaitu empat tahun
yang lalu tepatnya di usiaku 30 tahun, aku terpikat dan jatuh cinta
dengan seorang janda yang telah memiliki 3 anak, yang saat ini menjadi
istri pertamaku. Siska nama janda itu, usianya lebih tua dariku 8
tahun, keturunan Sunda Belanda. Walau lebih tua dariku namun bila
disandingkan dengan wanita seusiaku penampilannya tidak kalah, bahkan
sulit untuk dibedakan mana yang tua dan mana yang lebih muda.
Saat
ini ketiga anaknya yaitu anakku juga (anak tiri), yang paling besar
Mona, mahasiswa semester 4 di PTS swasta, adiknya Mira kuliah di
Akademi sekretaris, semester satu, dan yang paling kecil Mia masih
duduk di kelas 3 SMU. Ketiganya sangat dekat denganku, manja dan
cantik-cantik, putih dan segar, karena mereka tergolong anak-anak yang
rajin merawat tubuh seperti mamanya.
Satu tahun belakangan ini
aku sering memperhatikan pertumbuhan dan perubahan tubuh mereka, mulai
dari kulitnya sampai dengan buah dada mereka yang ranum. Dan sejak itu
pula sering tersirat di benakku untuk menikmati tubuh yang indah-indah
itu. Sudah pasti cara menikmatinya yaitu dengan memandangi, memegang,
menjilati dan merasakan sentuhan batang kelaminku di semua kulitnya.
Kalau
keinginan memandang sudah sering kudapati, seperti kalau sedang duduk
bersama satu keluarga atau kalau sedang bercanda, sering kulihat
pangkal paha mereka, bahkan pemandangan sekilas tubuh mereka tanpa
busana pun pernah kulihat, tapi itu kan hanya sekilas, sedangkan
kenikmatan yang kuinginkan adalah memandanginya tanpa putus. Pokoknya
aku ingin merasakan ketiganya, gilakan... Itu semua memang ketiganya
sangat menggairahkan birahi kelaki-lakianku.
Kesempatan pertama
tiba juga, yaitu pada waktu acara perkawinan emas mertuaku di Cimahi,
semuanya kami diundang untuk pesta acara tersebut, pesta diadakan satu
malam suntuk dimulai dari jam 7 malam. Waktu itu aku tidak dapat hadir
lebih awal, karena harus bertemu tamu bisnisku dari Eropa, sehingga
kuputuskan untuk menyusul saja.
Sekitar pukul 6 sore, Siska
istriku menghubungiku di HP, pesannya bahwa sebelum berangkat aku
mampir ke rumah dulu untuk jemput Mia, karena Mia juga pulangnya telat
karena ada pertandingan basket di Sekolahannya. Sedangkan istriku
berangkat terlebih dahulu dengan Mona dan Mira kakaknya Mia.
Jam
7.40 malam aku tiba di rumah, mobil kuparkir di halaman, tidak langsung
kumasukkan ke garasi, karena memang aku akan keluar lagi.
"Non Mia sudah pulang mang Udin..?" tanyaku kepada pembantu rumah kami.
"Sudah Tuan, barusan saja..," jawab Mang Udin singkat sambil menutup pintu mobil.
Aku
langsung berjalan menuju teras rumah dan ruang tamu. Setibanya di ruang
tamu kutemui Mia sedang berbaring di sofa sambil memijit-mijit bahu
kanannya.
Mia berbaring telentang dengan pakaian basket yang
seksi, celana strite basketnya yang ketat membentuk bayangan gundukan
di antara pangkal paha yang putih itu, dan kaos basket yang basah lusuh
juga membentuk dua buah dadanya mumbul ke atas. Posisinya yang
telentang membuatku terperanjat dan menghentikan langkahku.
"Mia.., kok kamu belum rapi sayang..?" sapaku halus penuh dengan kemanjaan.
Yang
satu ini memang lain, maklum yang paling kecil jadi sangat manja
denganku. Dia sering berlendotan denganku, bahkan tidak perduli bila
pada saat bercanda, buah dadanya sering tersentuh dengan tanganku,
sebaliknya tanggannya secara tidak sengaja kadang menyentuh
kejantananku.
"Ayo buruan, nanti kita telat sayang.." lanjutku sambil berlalu menuju ke kamar.
"Mia tidak ikutan aja ya.. Pa..," jawabnyanya manja pula.
Langkahku terhenti dan berbalik ke arahnya yang sudah tidak terlihat karena terhalang sandaran sofa.
"Memangnya kamu kenapa sayang..?"
Kutanya
dan kuhampiri anak tiriku itu sambil berlutut di samping wajahnya di
depan sofa dengan kedua siku tangganku kuletakkan di busa dudukan sofa,
dan kedua telapak tanganku menopang dagu, persis seperti orang sedang
melamun. Pada posisi ini wajahku dengan gundukan dadanya sangat dekat,
lebih kurang satu jengkal, sedang dengan wajahnya lebih kurang dua
jengkal. Aroma keringat bercampur wangi parfumnya bercampur
membangkitkan nafsuku.
"Kenapa.., kamu kecapean..?" tanyaku lagi
dengan pelan, sambil mengusap rambutnya dengan tangan kananku, sedang
tangan kiriku tetap menompang pada dagu.
"Ini Pa.., bahu Mia
keseleo, tadi terjatuh pada saat bertanding..," lapornya sambil
memiringkan badannya ke kiri menghadapku, yang maksudnya ingin
menunjukkan bahu yang sakit itu. Tanganku yang kiri yang sedang
menompang dagu menempel rapat dengan kedua dadanya pada saat Mia
memiringkan badan tadi. Jantungku langsung berdebar, dan batang
kemaluanku terasa perlahan bergerak membesar.
Kubiarkan terus
tangan kiriku menempel sambil kuperiksa bahu kanan yang katanya sakit
tadi dengan tangan kananku membuka sedikit lingkaran t-shirt Mia.
Terlihat jelas di depan mataku bulu roma yang halus di sekitar lehernya
dan pundak yang putih mulus, kupijit-pijit halus sambil kuelus lembut
bahunya. Hatiku berkata tercapai sedikit keinginanku.
"Ah.., ini tidak terlalu parah sayang..,"
"Tapi sakit Pa..," jawabnya cepat.
"Bukannya
ini alasan kamu saja untuk tidak ke pesta Oma.." sanggahku, "Kamu
jangan bohong, Papa kan tahu, Papa ini guru karate.."
"Benar Pa.., sakit.." jawabnya meyakinkan.
Pembicaraan
singkat ini berlangsung terus sambil tanggan kananku memijat lembut
bahunya, dan sekali-sekali mengelus sampai ke punggungnya. Tidak
ketinggalan beberapa kali kuciumi pipi kanannya. Soal ciuman pipi sudah
tradisi di keluargaku, tapi ciuman ini aku bedakan, ciuman kudekatkan
ke telinganya, sehingga terkadang Mia terasa geli. Batang kemaluanku
sudah semakin mengeras, pikiranku semakin ngeres, dan kuputuskan
kesempatan ini untuk tidak kusia-siakan mencapai keinginanku. Mumpung
di rumah tidak ada siapa-siapa, jarang suasana ini terjadi.
"Ayo sudah, sekarang sudah sembuh, cepat salin sana.." tegasku dengan gaya kebapakan sambil kucium pipinya.
Aku
bangun dan beranjak ke kamar, seolah tanpa memperdulikannya. Kutahu Mia
masih tiduran di Sofa sambil malas-malasan. Sambil menuju kamar,
kususun rencana jitu untuk menikmati tubuh Mia. Sambil jalan menuju
kamar melewati meja telepon, kucabut kabelnya, agar saat aku bereaksi
nanti tidak terganggu dengan dering telepon.
Setibanya di kamar,
aku langsung melepas baju kerjaku, tidak lupa kaos dalam dan CD-ku.
Sekelibat kusambar kimono yang tergantung di belakang pintu kamar,
kubalut tubuhku yang ateletis ini dengan kimono, sehingga saat aku
bereaksi nanti sudah tidak merepotkan lagi. Segera kumulai niatku
dengan memanggil Mia yang masih di sofa tamu.
"Mia.., sini Papa benerin ototmu yang keseleo.." panggilku.
"Kamu tidak boleh tidak datang di acara Oma.." kutegaskan tanpa menunggu jawaban dari luar kamar.
Kudengar
suara langkah diseret dari arah ruang tamu, sudah pasti itu Mia, dan
kuberkata dalam hati, "Tehnik pertama berhasil, yaitu membawa Mia masuk
ke dalam kamar."
Kudengar suara pintu terbuka, aku pura-pura tidak
memperhatikan siapa yang masuk dan sudah pasti Mia, dan aku pura-pura
sibuk dengan mencari baju di lemari pakaian. Mia masuk dan duduk di
tepi ranjangku, dan segera tidur telentang sambil kedua kakinya masih
menyentuh lantai. Aku dapat melihatnya dari kaca lemari pakaianku.
Keadaan ini hapir membuatku tidak sabar dan gegabah memainkan peranku.
Langkahku
mantap bergerak ke sebelah lemari pakaian menuju meja hias yang di
atasnya terdapat tumpukan perlengkapan make-up istriku. Kusambar hand
body yang ada di situ, dan berbalik menuju ke tempat tidur yang di situ
Mia masih terbaring telentang menantang. Kudekati gadis mungil dan
montok ini, sambil mengeplak samping pantatnya kuperintahkan dia naik
tengah tempat tidur.
"Sekarang Mia duduk bersila.." perintahku lembut.
Dia
menuruti perintahku dengan malas-malasan bangun dari telentang dan naik
ke tengah tempat tidur, duduk bersila menghadap ke dinding kamar mandi
yang ada di sisi kanan tempat tidurku. Aku duduk berlutut tepat di
belakangnya, dan kutarik ujung t-shirt-nya dengan kedua tanganku ke
atas perlahan-lahan dengan maksud ingin membukanya.
Sesampainya di kedua ketiak Mia, tiba-tiba ia berkata sambil mengepit ketiaknya.
"Kok dibuka Pa..?"
"Lah ia dong sayang.., kalau tidak bagaimana Papa mengurutnya..?" jawabku.
"Kalau Mia malu, tutupi saja bagian depan tubuh Mia dengan t-shirt.."
Tanpa
menunggu jawaban Mia, kuteruskan rencana kedua ini, dan ternyata dia
tidak menolak seperti sebelumnya tadi. Benar t-shirtnya ditutupi ke
bagian depan tubuhnya, dengan kedua tangannya menempel ke atas
payudaranya menahan t-shirt. Terlihat jelas punggung yang mulus, putih
tanpa sedikit bercak pun, beberapa detik kuperhatikan dan selanjutnya
kuberkata.
"Sebentar Papa matikan lampu, biar Mia tidak malu.."
Aku
langsung saja melompat ke arah saklar lampu, "Tik..!, lampu kamar mati,
yang tinggal hanya lampu ranjang kiri dan kanan, serta lampu meja hias.
Sengaja aku lakukan ini untuk membuat suasana romantis. Aku kembali
lagi ke posisi semula, yaitu berlutut di belakangnya. Aku mulai dengan
mengurut pundaknya. Kuoleskan hand body yang memang sudah kupersiapkan.
Kulakukan pijatan sebagaimana mestinya, aku sedikit mengerti mengurut
orang keseleo, karena dulu kupelajari pada saat aku belajar ilmu bela
diri.
Pijatanku membuat Mia terkadang meringsis dan mengeluarkan
suara rintih kesakitan. Otot-otot pundak sudah selesai aku benarkan,
sekarang aku beralih ke pangkal tanggannya, kubenarkan otot yang
keseleo, tangan kananku mengurut pangkal lengan yang atas dan tangan
kiriku menahan dada atasnya tepat di atas buah dada yang menonjol.
Posisiku sudah agak tegak, dan karena aku harus menarik ototnya dari
mulai dada atas, maka terpaksa tangan Mia yang kanan sedari tadi
memegang t-shirt terpaksa dilepas. Terlihat gundukan buah kanannya
menonjol dari balik BH yang berukuran 32.
Kemaluanku berdiri
semakin keras di balik kimono, dan melongok keluar di antara belahan
kimono yang kupakai hampir menyentuh punggung belakang Mia. Mataku
terus memperhatikan gundukan buah dada Mia, daya kontrolku hampir
hilang dikarenakan nafsu yang sudah mulai bergolak. Untung saja aku
tersadar dengan rintihan suara Mia yang kesakitan.
"Aduh Pa.., sakit..!" rintihnya.
"Pelan-pelan dong Pa..." pintanya lagi.
Aku terkejut dengan suara tadi, dan langsung kunetralisir.
"Kalau
mau tidak sakit, itu namanya dielus-elus bukan diurut.." sanggahku,
"Nanti kalau Mia mau setelah semua otot yang keseleo bener, baru Oapa
elus-elus.." kataku lagi.
"Idih Papa jorok..," sambutnya malu.
Aku
teruskan mengurut bagian pangkal tangannya, sekarang melingkar ke
pergelangan pangkal tangannya, dan dengan gaya professional, kusisipkan
telapak tangan kananku di bawah ketiak kanan Mia, sambil
sebentar-sebentar menyentuh samping atas buah dadanya yang kanan juga.
Bagian tangan sudah cukup kurasa karena sedari tadi sambil kuurut
sambil menyentuh bagian atas buah dada anak tiriku ini. Dia diam saja
tanpa komentar apapun, dan yang kutahu dia merasakan sedikit kenikmatan.
Gerakanku berpindah ke leher belakangnya
dengan kedua telapak tangan kuurut dari atas menuju ke dua pundak
atasnya dengan lembut. Gerakan ini berlangsung 5 menit. Tanpa ada
protes dari Mia, suasana hening masing-masing dari kami menikmati apa
yang terjadi, yang jelas aku terus mengatur siasat dengan jitu, tapi
yang kutahu Mia diam sambil memejamkan mata. Pijitan lembutku sekarang
kupindahkan ke bagian punggung belakang Mia. Perlahan kubuka pengait
tali BH-nya yang melintang di punggung. Tidak ada reaksi menolak, misi
berjalan dengan sempurna.
Kutelusuri kedua telapak tangan ini
dari atas sampai ke panggal pinggangnya berulang kali, terkadang dari
atas ke bawah. Sedikit demi sedikit posisi telapak tangan kurubah
seperti seolah-olah aku sedang memegang sebuah benda bulat dengan kedua
jempol tanganku berada di punggungnya, dan keempat jari kanan dan
kiriku berada di samping tulang rusuk Mia. Sesekali kusentuh bagian
samping buah dadanya secara bergantian antara yang kiri dan yang kanan,
terasa masih sangat kencang dan mumbul. Posisi dudukku sekarang sudah
agak merendah, tidak lagi tegak seperti tadi. Kuberanikan diri sekarang
menyentuh hampir seluruh bagian samping buah dada Mia dengan pelan dan
lembut, tidak ada sanggahan, Mia semakin menikmati.
Suasana
remang dan hening yang terdengar hanya suara motor fan AC yang sejuk
menambah kenikmatan Mia. Kalau diperhatikan oleh yang professional,
kegiatan sekarang bukanlah kegiatan mengurut yang keseleo, tapi
kegiatan mengelus sebagaimana yang kujanjikan pada Mia tadi. Kegiatan
telapak tanganku sekarang sudah mulai berani menyentuh semua bagian
samping buah dada Mia yang memang bagian depannya masih tertutup oleh
BH yang baru telepas pengait bagian belakang, sedangkan kedua tali yang
di pundak masih menempel.
Perlahan kunaikkan keempat ujung
jariku ke bagian atas buah dada yang ranum itu, kedua tangganku masuk
di antara kedua tangan Mia, dan jari-jariku, kiri dan kanan tidak
termasuk jempol, masuk menelusuri bawah tali BH. Mia diam seribu
bahasa, tanpa berkomentar dan bersuara, namun satu reaksi yang
menggembirakanku yang membuktikan misiku berjalan mulus ialah, posisi
duduk Mia tidak bersila lagi, perlahan digerakkan kakinya lurus ke
depan dan saling bertindih, itu pertanda Mia sudah mulai terangsang.
Dengan
posisi tadi tentu saja ketahanan tubuhnya tidak ada, sehingga secara
tidak sadar Mia telah bersandar di dadaku. Untung saja posisiku masih
berlutut, sehingga si batang ganas yang sudah mengamuk ini tidak
menyentuh punggung Mia yang sedari tadi tidak berbusana. Kepala Mia
sekarang bersandar di dada atasku, mata terpejam, bibirnya yang merah
tertutup rapat, kedua tanggannya lunglai di samping. Entah apa yang
sedang dipikirkannya, apakah menikmati permainan jariku di sekeliling
buah dadanya atau tertidur karena kelelahan bertanding basket tadi. Aku
tidak perduli semua itu.
Sementara Mia bersandar di dadaku,
jariku terus bermain di sekeliling buah dada Mia, sambil kuperhatikan
gundukan kemaluan Mia yang masih tertutup celana karet ketat, dan
kuberpikir bahwa sebentar lagi aku akan menjilatinya. Bim Sala Bim,
kuberanikan sekarang kedua telapak tanganku menelusuri ke dalam penutup
BH Mia. Perlahan ujung jariku menyentuh samping puting susu Mia, dan
tidak ada masalah, semua berjalan mulus. Dengan lembut kujalankan
telapak tanganku menutupi kedua buah dada Mia dari belakang, buah
dadanya yang kiri kututupi dengan telapak tanganku yang kiri, dan yang
kanan dengan telapak tanganku yang kanan, posisiku seolah-olah sedang
memeluk dari belakang.
Jantungku semakin berdebar, hanya baru
dapat kubayangkan bahwa besarnya buah dada Mia sebesar telapak
tanganku, keras dan menempel tegak karena memang masih tertutup BH-nya.
Tidak ada penolakan ,dan aku semakin bergairah, perlahan kutempelkan
pipiku di pipinya, lembut kucium pipinya, ujung atas daun telinganya,
dan jari telunjukku sekarang sudah mulai bermain dengan kedua putting
susu Mia.
Kulihat kakinya makin mengejang, sehingga dapat
kupastikan dia tidak tertidur tapi sedang menikmati permainanku.
Kulihat juga sekali-sekali Mia menggigit bibir bawahnya nan merah itu.
Ingin rasanya aku melumatnya. Tapi nantilah ada masanya. Perlahan
tangan kiriku keluar dari sarung BH Mia yang sedari tadi asyik bermain
dengan puting susu kiri Mia, sementara jari kiriku masih tetap asyik
dengan puting kanan Mia. Tugas tangan kiriku sekarang ialah melorotkan
tali BH yang sebelah kiri, dan sekarang telah jatuh ke bawah, tugasnya
selesai dan kembali lagi dengan permainan puting susu tadi, tapi tidak
lagi masuk melalui bawah ketek Mia, datangnya sekarang dari arah atas.
Bergantian
tugas dengan tangan kiri, si tangan kananku juga melakukan tugas yang
sama dan kembali lagi dengan kegiatan semula, yaitu bermain dengan
puting susu Mia persis seperti yang kiri, yakni dari atas. Lebih
leluasa lagi aku bereaksi, dengan lembut kuturunkan semua penutup BH
Mia dari atas ke bawah, seolah-olah takut Mia terbangun. Dan setelah BH
Mia terlepas dari posisinya, terlihat jelas buah dada yang masih muda,
ranum, keras dan menonjol ke depan dengan puting susu yang asyik
kumainkan tadi, rupanya kecil berwarna merah dan sangat menggairahkan.
Kuelus-elus
lembut sambil kucium leher Mia, dan dia hanya bersuara, "Ahk.., ahk.."
sambil mengencangkan lipatan kakinya. Kupindahkan kedua telapak
tanganku ke bagian belakang pundak Mia dan kutahan serta kubimbing
pelan-pelan Mia untuk berbaring telentang. Kuperhatikan Mia masih
terpejam dengan posisi telentang saat ini. Sementara posisiku masih di
belakangnya, atau berada di ujung kepalanya.
Indah sekali tubuh
ini gumamku dalam hati, dada mumbul, pinggang kecil dan vagina
membukit. Tanganku masih bermain di sekeliling buah dada Mia.
Kubungkukkan badanku dengan mendekati wajahku ke buah dada Mia,
sehingga posisi perutku tepat berada di atas wajah Mia yang sedang
memejamkan mata tadi, akau masih mengenakan kimono. Kutempelkan wajah
ke buah dada Mia yang kiri dan kanan bergantian. Dan kukecup di antara
kedua belah dada Mia, lembut kugerakkan ke arah puting kiri, lidahku
menjulur dan berputar-putar, bergantian dengan puting sebelah kanan.
Mia
mulai bersuara lagi seperti tadi mengerang nikmat, tapi hanya sekali.
Tidak kusangka Mia benar-benar menikmati. Entah obsesi apa yang membuat
dia begini, yang pasti aku berhasil menikmati tubuh yang sudah lama
kuangan-angankan. Ciuman demi ciuman kulakukan terus di kedua buah dada
Mia, rasanya tidak puas-puasnya. Batang kemaluanku sudah menonjol
keluar di antara komonoku, keras dan besar, karena posisiku di atas Mia
dengan berlawanan arah maka tidak terlihat oleh Mia batang yang sedari
tadi mengintip keluar.
Sambil tetap menciumi dada yang mumbul
itu, tanganku mulai meluncur ke bagian bawah tubuh Mia, lembut
kutempelkan di atas gundukan vagina yang sedang dijepit kedua paha yang
berlipat sedari tadi. Sedikit demi sedikit kumiringkan telapak tanganku
memasuki jepitan paha Mia. Dia sedikit berontak, tapi diam lagi, ahk..,
mungkin kaget kurasa. Terasa jepitan pahanya mulai mengendor, dan
perlahan kaki Mia mulai merenggang, dan dengan bantuan kedua tanganku,
kulebarkan belahan kakinya.
Kini jari-jariku leluasa bermain di
atas gundukan yang masih terbalut celana karet ketat ini. Jari tengah
kanan kugosok naik turun di antara belahan vagina Mia. Suaranya
sekarang mulai banyak terdengar, sudah tentu suara mengerang, nafasnya
juga sudah mulai tidak beraturan, ini dapat kudengar dari hembusan
udara yang keluar dari hidungnya menerpa daguku.
Tanganku
kutarik ke atas perut Mia, perlahan kedua tanganku masuk ke dalam
celananya. Dan sekarang sudah kurasakan bulu-bulu lembut yang tumbuh di
atas gundukan tadi. Kuteruskan gerakan tanganku, tapi tidak langsung
menuju vagina Mia. Kuarahkan sedikit ke samping di antara kedua pangkal
pahanya sambil sedikit-sedikit menyentuh bibir vagina yang masih keras
itu. Kupindahkan telapak tanganku menutupi vaginanya, dan kutarik ke
atas sedikit, sehingga jari tengah tanganku berada pas di belahan
vagina Mia.
Dia tersentak dan berkata, "Pa..,"
Selanjutnya diam, aku terus bermain dengan jariku sambil mencium buah dadanya.
Kesabaranku
hilang. Kukeluarkan tanganku dari celana Mia, dan dengan lembut
kuturunkan celana berikut CD Mia sekaligus ke bawah, namun baru sampai
di posisi dengkul Mia berontak dan menekuk kakinya seraya berkata,
"Papa.., Jangan Pa.., Sudah Pa..," pintanya merintih.
Aku tidak
menjawab, tanganku masih memegang celana dan CD-nya, tapi gerakanku
berhenti, tidak memaksa untuk melepaskan celananya.
Aku tidak
kehabisan akal, dengan cepat kupindahkan ciumanku yang dari tadi di
buah dada montok dan keras itu menuju ke sela-sela paha Mia. Dengan
sangat terlatih lidahku sudah menyentuh klistoris Mia. Dan dia merintih
lagi dengan memanggilku.
"Pa.., Mia..," suaranya terhenti entah
kenapa, yang pasti merasa nikmat dengan permainan lidahku yang sudah
pakar ini, terbukti kakinya yang sedari tadi ditekuk sekarang sudah
lurus lagi.
Sambil bermain dengan lidah di bibir vagina Mia, kedua tanganku meneruskan melepas celana dan CD Mia, terlepas sudah.
Kusadari
sekarang apa penyebab sapaan Mia barusan tadi terhenti, rupanya
kemaluanku sedang menonjol berdiri tepat di atas wajah Mia, yang
posisinya telentang di bawahku. Posisi kami sebagaiman yang sering
disebut orang dengan posisi 69. Kulihat Mia melototi kejantananku. Aku
terus bermain dengan vagina Mia, vaginanya sudah basah dan wangi, dan
asin rasanya. Kujilati sepuas-puasnya, dan kuraih tangan kanan Mia,
kubimbing menuju ke batang kemaluanku, kutempelkan telapak tangannya,
kutuntun untuk memegang, dia menurut saja, tapi hanya memegang dan
tidak lama kemudian dilepaskannya.
Kulihat Mia mulai
menggerakkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan, didorong-dorong ke atas
merapatkan ke bibirku. Dan mendesah, "Eehk.., Ahk.., ahk..,"
Keadaan
ini tidak kusia-siakan, aku langsung berpindah posisi sambil melepas
kimonoku, berputar searah dengan posisi Mia, dan secepat kilat juga aku
sudah berada di atas Mia, namun tidak menindih tubuhnya dengan tubuhku
yang besar dan berat ini.
Bagian yang belum kunikmati dari tadi
ialah mencicipi bibir yang merah dan mungil kecil ini, dan langsung
saja bibirku mengulum bibir Mia. Dia menyambut dengan nafsu, tidak
kusangka kudapatkan semua dengan sempurna. Sambil berciuman, aku
rapatkan zakarku yang sudah mengeras dari tadi ke bibir vagina yang
masih rapat dan kecang itu. Sulit aku menemukan lubang vagina Mia, apa
karena masih rapat atau karena beda panjang badan yang mencolok, kalau
berdiri tinggi Mia memang setinggi pundakku.
Sambil
menekan-nekan posisi badanku, sekarang sudah menekuk, tidak lagi
mencium Mia, tapi tidak kusia-siakan yang ada di depanku, yakni kucium
buah dadanya lagi. Mia merintih, kali ini rintihannya benar menahan
sakit, padahal batangku belum menembus ke dalam, baru kepala batangku
berada di bibir luar vagina Mia, tapi dia sudah merintih.
"Papa.., sakit Pa.." rintihnya.
"Aduh Sakit Pa.." ulangnya.
"Ahk.., u.. hk.."
"Papa.. sakit..!" teriaknya.
Aku tersentak karena teriakannya, Mia
berteriak sakit, tapi aku belum memasukkan batang kemaluanku sedikit
pun, baru hanya menyentuh bagian luarnya. Akhirnya aku berpikir bahwa
kalau kupaksakan untuk menusuk semua batang zakarku yang panjang 17 cm,
dan berdia meter 5 cm ini, akan berakibat fatal, yakni Mia bisa jadi
tidak ikut ke pesta atau datang ke pesta dengan jalan
terjingkat-jingkat. Aku putuskan bermain dengan menggesekkan batangku
di bibir vagina yang tembam itu. Aku berhenti sejenak, dan bertanya
pada Mia.
"Apa kamu merasakan nikmat Nak..?" tanyaku lembut sambil mengelus keningnya.
"Ia Pa.., tapi ada sakitnya.." jawab Mia lugu.
"Kamu pernah seperti ini Sayang..?" tanyaku lagi.
"Belum Pa.., Ciuman aja baru sama Papa tadi ini..." katanya lugu.
"Benar kamu belum pernah ciuman..?"
"Benar Pa.. sumpah..."
Kalau
soal di luar ciuman aku percaya dia belum pernah, karena dari tadi
sejak aku mulai mengelus buah dadanya sampai menciumi dan bahkan
menekan zakarku ke vaginannya, dia kaku tanpa mengibangi, hanya
pinggulnya yang bergerak, itu pun dikarenakan naluri kewanitaannya.
Percakapan
aku sambung lagi sambil tetap berpelukan tanpa busana dengan posisi aku
masih di atas, dan batang besarku tetap kutempelkankan pada vagina Mia.
Memang kuraskan mulai agak mengendur.
"Kamu pasti belum puas..?" kataku.
"Maksud Papa puas itu seperti apa..?" tanyanya lugu.
"Puas
itu ialah mencapai kelimaks, yang tandanya Mia merasakan seolah-olah
kayak pipis, tapi tidak pipis, dan setelah itu badan Mia terasa lemas."
jelasku.
"Ah.., Mia enggak ngerti ah Pa.." dia kelihatan binggung.
"Tapi Mia maukan mencoba dan merasakannya..?" tanyaku merayu.
"Emm.., mau sih Pa.., tapi tidak pakai sakit Pa.." jawabnya manja.
"Boleh deh.." jawabku singkat.
"Janji ya Pa..!" pintanya manja.
"Janji.." kataku.
"Sekarang Mia peluk Papa dan cium bibir Papa sperti tadi.."
Tanpa
malu-malu lagi Mia memeluk dan menciumku dari arah bawah. Aku pun
segera menyambut ciumannya dengan menjulurkan lidahku masuk ke dalam
mulutnya, Mia pun langsung bermain dengan lidahnya. Sedangkan bagian
bawah mulai kutempelkan, dan aku gerakkan ke kiri dan ke kanan. Naik
dan turun, sehingga sedikit demi sedikit kemaluanku mulai membesar
lagi. Dan sekarang sudah mengeras seperti tadi, tetap kutempelkan di
vagina Mia, naik dan turun kugesekkan pada bibir tumpukan daging yang
tembab itu.
Ciuman bibir kami berhenti, karena Mia sekarang lebih banyak bersuara.
"Pa.., ahk, Pa..,"
"Enak Sayang..?"
"Ia Pa."
"Sakit Sayang..?""Tidak.. ahk..! Au..,"
"Sakit Sayang..?"
"Ahk.., i.. au.. ahkkk..!"
Kuteruskan
gerakanku naik dan turun sambil menekan batang kemaluanku yang sudah
mengeras. Dan pelukan Mia semakin erat kurasakan.
"Apa rasanya Sayang.., enak Nak..?" tanyaku manja.
"Enggak tau Pa.., Mia rasanya mau pipis Pa.. ahk..!"
"Pa... a.., Mia mau pipis Pa..,"
"Ah.. uhk.., ahhkk.. ahhhkkk.., Papa.., Mia.. Pa.. Mia mau.. Pa.., Mau pi.."
Kuhentikan
gerakanku dan kurenggangkan zakarku dari vaginanya. Dan aku merosot ke
bawah menuju selangkangan Mia untuk menciumi vagina yang merah jambu
ini, sambil meraih dua remote untuk menyalakan TV dan VCD, yang sudah
kupersiapkan, bila misi urut mengurut gagal, maka akan kualihkan dengan
misi nonton VCD Porno. Tapi VCD ini akan bermanfaat untuk Mia berlajar
saat aku memintanya nanti mengulum batang ajaib ini.
"Sekarang Mia pipis sepuasnya sambil Papa cium dan Mia juga sambil nonton ya..!"
"Ia Pa.."
Aku mulai mencium bagian yang sangat sensitive, Mia mengerang dan bergerak.
"Au..,
Ahhk.., ahhhkk.., Enak Pa.., he.. ahhk.., Pa terus yang itu Pa... Enak
yang di situ ahhkkk.., Pa.. Mia sudah.. ahhkk.. aaakkk..
"Papa.., Mia pipis ya.., ahhkkk..,"
Aku mengangguk sambil mempercepat lumatan lidahku di vaginanya, dan tidak lupa meremas-remas buah dada yang sekal itu.
"Pa..,
Mia.., Pa.. pi.. aaa.. hhh.. akkk ahhhhkkk.., Mia iii... Papa udah Pa..
ahhkkk, Mia udah pipis Pa.., uhhh..!"Benar dia sudah dapat dan mencapai
orgasmenya, aku merasakan hangat di bibirku, dan badan Mia sekarang
melemas sambil melipat kedua kakinya. Aku langsung naik ke atas dan
berbaring di samping sisi kanan Mia. Aku cium pipinya dan kupeluk
badannya yang sedang tidur telentang.Kuelus lembut buah dadanya, dia
diam dan telentang tidak merasakan malu seperti tadi. Sementara batang
kemaluanku masih mengeras.
TV masih menyala dengan gambar
adengan porno seorang wanita bule sedang mengulum batang kemaluan pria
bule. Kulihat Mia memperhatikan adengan yang ada di TV, kubimbing
tangan kanan Mia menyentuh zakarku yang mengeras. Dia tidak menolak,
bahkan sekarang menggenggamnya dengan keras, dan sebentar-sebentar
digerakkan, aku sadar dia belum mengerti apa maksudku, sehingga
kubiarkan berjalan apa adanya.
Setelah beberapa menit saling
diam, sementara Mia merasakan nikmatnya pipis yang dia maksud dengan
sambil menonton TV, aku juga terus memandangi tubuh yang indah ini, aku
pun berkata memecahkan kesunyian.
"Sekarang kita mandi Sayang.., nanti kita terlambat ke rumah Oma.."
Dia kaget dan langsung melihat dan memelukku, dan berkata, "Terima kasih Pa.."
Aku tersenyum dan langsung menggendong tubuh mungil ini ke kamar mandi.
"Kita mandi bareng ya.., biar rapihnya cepat.." kupeluk Mia dalam gendonganku sambil kucium bibirnya, dia membalas dengan mesra.
"Lagi pula Mia kan tugasnnya belum selesai.." sambutku lagi.
"Tugas apa Pa..?" Mia bertanya sambil mengerutkan kening, dan memang dia benar-benar tidak tahu.
Sesampainya
di kamar mandi, kuturunkan Mia dari gendonganku dan masih berhadapan
denganku. Kukulum lagi bibirnya, dia berusaha melepas dan bertanya.
"Tugas apa Pa..?" tanyanya penasaran.
"Papa kan belum pipis seperti Mia, jadi tugas Mia bikin pipis Papa.."
Kubungkukkan
badanku untuk mencium bibirnya lagi, belum puas rasanya aku menciumi
semua badannya, untuk itu aku ajak dia mandi bareng.
Dia lepaskan lagi ciumanku dan bertanya, "Caranya bagaimana Pa.., apa seperti yang di film tadi..?" tanyanya lugu.
Aku tidak menjawab dengan jelas, sambil berkata aku langsung mencium bibir Mia lagi.
"Pokoknya Mia pasti bisa bikin Papa pipis.., Mia ikuti aja apa yang Papa suruh..!" tegasku.
"Tapi tidak sakit kan Pa..?" tanyanya.
"Ya.., tidak Sayang.." jawabku.
Dan
langsung saja kuciumi bibirnya, sangat kunikmati, kepeluk dan kujilati
lehernya sambil berdiri dan berpelukan. Kuangkat badannya dan
kududukkan Mia ke atas Meja westafel yang berada di belakangnya. Kucium
dengan leluasa buah dadanya di bawah sinar lampu kamar mandi yang
terang menderang. Puas dengan bermain di buah dadanya dan memperhatikan
dengan jelas, ciumanku pindah ke bawah perlahan, dan menuju ke arah
sela-sela paha.
Bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar tumpukan
daging nikmat itu kujilati dengan mesra, sesekali menyentuh bagian
bibir vagina Mia, sengaja kubasahi bulunya agar tidak menutupi bagian
yang sangat indah ini. Kuangkat kedua kaki Mia ke atas meja westafel
yang sedang dia duduki, sehingga posisinya duduk mengangkang dengan
kaki menekuk. Sekarang terlihat jelas bagian dalam vagina yang muda
ini, berwarna merah, cantik, masih asli dan belum melar. Kujurkan
lidahku menjilati sampai ke bagian dalam, kulihat Mia menikmatinya.
"Ahhhkk Pa.., udah Pa.., Mia kan tadi udah dapat pipisnya Pa.."
"Ia sayang, Papa hanya cium aja, Papa tidak bikin Mia pipis lagi.."
Kuhentikan
ciumanku pada vagina Mia, karena kurasakan sudah cukup puas, dan aku
pun merasa sudah tidak kuat lagi menahan desakan air maniku yang sedari
tadi sudah mau keluar. Aku angkat turun Mia dan kucium bibirnya, dia
membalas dengan mesra pula. Kupeluk rapat badannya dan sambil berputar,
dimana aku yang membelakangi westafel. Kubimbing kepalanya ke bawah dan
kudekatkan batang kemaluanku ke bibirnya.
"Mia.., Sekarang Mia bikin pipis Papa ya Nak..?"
Dia duduk berlutut bingung sambil memandangiku ke atas, aku tahu apa artinya itu.
"Mia ciumi itu seperti yang Mia lihat di film tadi."
"Mia isap-isap seperti Mia minum es krim.."
Tanpa
berkomentar Mia pun bereaksi, awalnya memang aneh, hanya pada bagian
ujung batang kemaluanku saja yang di kecup. Kubiarkan apa saja yang dia
lakukan. Perlahan kurasakan dia mulai memegangi batang kemaluanku
dengan kedua tangannya. Bibirnya pun mulai terbuka lebar, dan pelan
masih gerakannya, tapi sudah mulai kurasakan setengah dari batangku
masuk ke mulutnya.
Tidak begitu lama aku sudah merasakan
kemahiran Mia seperti yang kurasakan kalau Mamanya bertugas seperti
ini. Kupeganggi rambunya dan kepalanya lembut sambil menggerakkan maju
mundur.
"Iya.., Sayang.., Papa hampir pipis Nak.."
"Terus..! Yang kencang Sayang... Ah.. enaknya Nak.. Mia.., aduh Sayang.., enak Nak..!"
"Pintar kamu manja.."
Terus kugerakkan kepalanya maju mundur.
"Sayang terus Sayang.., jangan berhenti..! Papa hampir.., ahhhkkk."
"Kalau
Papa mau pipis Mia langsung berdiri ke samping Papa ya..
ahhmm..!""Terus Nakkk, auuu ya.., Terus cium Nak..! Sambil dihisap
Nak.."
"Ya, gitu.. Ya... Ahh.., kkkk..,"
"Sudah Mi.., kesini..!"
Kutarik
Mia ke samping dan kupegang tangan kanannya tetap memegang batang yang
keras ini dan ajarkan untuk mengocok, ternyata dia cepat mahir,
sehingga kulepas tangganku, dan dia terus menocok barangku. Kupeluk dia
dari arah samping yang memang sudah berdiri di sisi kananku. Badannya
agak sedikit membungkuk, karena tangan kanannya sedang mengocok
barangku.
"Terus Sayang, yang cepat lagi, ahhkkk, diremas lagi Nak..!"
"Ya.. Papa dapat sekarang sayang, terus Nak.., jangan berhenti sampai Papa berhenti pipisnya, ahhkkk."
Lunglai
sudah badanku lemas rasanya, kupeluk Mia dengan mesra, dan sambil
kuperhatikan semburan air maniku yang mencapai satu meter itu. Pelan
zakarku mengecil. Selanjunya kami pun mandi bersama saling menggosok
badan tanpa ada rasa malu lagi. Mia pun tidak merasakan keseleonya yang
tadi dia derita.
Selesai mandi kami pun bersalin di kamar
masing-masing. Selesai berdandan aku dan Mia berangkat menuju ke rumah
Omanya. Dalam perjalanan aku berpesan bahwa kejadian tadi jangan
diceritakan pada siapa pun, dan kalau tidak Mia akan tidak pernah dapat
pipis yang enak lagi ancamku. Dia tersenyum seolah-olah setuju.
Di pesta suasana kami berdua berjalan biasa, begitu juga sehari-hari, karena memang Mia sehari-harinya manja denganku.
TAMAT