Sebuah Cinta Di Kegelapan
Aku bekerja di Perusahaan BUMN yang
berkantor di sekitar Jalan Sudirman Jakarta dan tinggal di kompleks
perumahan sekitar Bekasi. Gajiku hanya pas-pasan untuk menghidupi
seorang Istri dan dua anak yang masih Balita dan untuk meringankan
biaya bensin dan tol dari kendaraan Kijang pribadiku setiap harinya,
maka aku mengajak beberapa orang yang biasa menunggu kendaraan umum di
sekitar Bekasi dan yang kantornya di sekitar kantorku. Mereka tidak
keberatan untuk membayar Rp 2,000,-per tripnya.
Pertama-tama
agak sulit mencari penumpang yang kantornya berdekatan dengan kantorku,
tapi sudah hampir sebulan ini, orang yang ikut di kendaraanku selalu
sama yaitu 2 laki-laki dan 2 wanita yang kutaksir rata-rata berumur
seusiaku yaitu antara 25-35 tahun serta katanya sudah berkeluarga semua
dan semuanya bekerja di perusahaan yang berlainan, tetapi kantornya
hanya berjarak 1 atau 2 gedung dari kantorku. Karena berangkatnya
kira-kira jam 06.00 pagi, maka mereka rata-rata selalu tertidur apabila
sudah ada di dalam kendaraanku. Demikian pula kalau pulang kantor
kira-kira jam 18.00, sehingga kami berlima tidak saling mengenal lebih
jauh kecuali nama panggilan mereka (di sini nama samaran) yaitu Andoyo,
Agus, Tyas dan Dhea. Tyas bodynya kecil mungil tetapi berwajah manis,
bermata sayu dan pendiam sedangkan Dhea tingginya sekitar 160 cm,
ukuran dadanya cukup besar dan banyak bicara, katanya dia keturunan
Padang Jawa dan sudah mempunyai anak 2 orang. Tyas mengaku berasal dari
kota Malang dan sudah punya anak satu yang berumur 3 tahun dan suaminya
kerja di perusahaan pelayaran dan berkantor di sekitar Tanjung Priok.
Data
yang agak detail tentang Tyas ini kudapatkan karena dia selalu menjadi
orang pertama yang naik di mobil Kijangku dan selalu memilih duduk di
kursi depan di sampingku. Kepingin rasanya aku mengajak ngobrol lebih
jauh tetapi tidak pernah kesampaian karena penumpang lainnya sudah
keburu naik, jadi agak malu juga kalau mau bertanya soal pribadi.
Kejadian
ini terjadi di bulan Nopember 1998 saat ramai-ramainya Mahasiswa
berdemonstrasi. Di sekitar kantorkupun sudah dipenuhi oleh para
demonstran baik yang memakai jaket mahasiswa maupun orang yang tidak
memakai atribut apapun. Karena sudah jam 18.00 dan punya tanggungan
untuk mengangkut pulang ke 4 orang penumpang setiaku yang biasanya
menunggu di tikungan jalan yang kulalui, lalu aku nekat keluar dari
gedung walaupun banyak teman-temanku yang menasehati dan bahkan
melarang agar aku jangan meninggalkan gedung dengan kendaraan di
situasi yang sedang semrawut ini.
Belum jauh aku meninggalkan
gedung lewat jalur lambat yang penuh dipadati oleh para demonstran,
kaca jendela kiri Kijang-ku terasa dipukuli tangan agak keras, tadinya
kubiarkan saja karena pikirku pasti tangan-tangan jahil para
demonstran. Tetapi setelah kulihat sekilas, ternyata yang memukul
jendela tadi adalah Tyas yang kelihatan berwajah lusuh dan sangat
ketakutan. Segera kubuka pintu depan mobilku dan segera Tyas masuk
mobil dan segera mengunci pintunya sambil berkata gemetaran dan penuh
ketakutan.
"Maas..., cepat deh..., cari jalan yang sepi dan
cepat keluar dari daerah sini..., bisa bisa kita mati ketakutan...,
tadi aku lihat tentara dan orang-orang sudah bentrok dan pukul-pukulan
serta lempar-lemparan batu.
Aku yang sudah takut karena mobilku
sudah dipukul-pukul oleh tangan-tangan jahil para denmonstran, menjadi
tambah ngeri mendengar cerita Tyas ini, tetapi melihat baju Tyas yang
basah kuyup itu, masih sempat kutanya, "Tyaas..., kenapa bajunya kok
basah kuyup?".
Dia menjawab, "Waktu keluar dari gedung kantornya,
tersemprot air yang disiramkan oleh mobil tentara untuk mengusir para
demonstran".
Aku sudah tidak peduli lagi dengan ke 3 orang
penumpang setiaku yang belum kelihatan ketika mobilku sampai di
tikungan tempat biasa mereka menunggu, aku hanya berusaha menjalankan
mobil secara pelan di tengah kerumunan orang ramai untuk mencari jalan
kecil atau jalan yang sepi, yang penting keluar dari jalan Sudirman dan
ketika sampai di jalan keluar dari Jalan Sudirman, ternyata jalan yang
agak kecil inipun tidak kalah ramainya dengan yang di jalan Sudirman,
jalan ini dijadikan tempat lari dan berlindung orang-orang yang sedang
di kejar-kejar tentara dan polisi.
Untungnya tidak jauh setelah
mobilku berjalan merayap lambat, kulihat ada gedung yang pintu pagarnya
masih terbuka dan penuh dengan mobil-mobil yang diparkir lebih dulu
untuk berlindung di situ, lalu segera saja kumasukkan dan kuparkir
mobilku dengan susah payah di halaman gedung itu dan kulihat jamku
telah menunjukkan jam 19.00 malam.
Kulihat Tyas duduk diam
gelisah dan kelihatan masih ketakutan serta badannya sedikit menggigil
mungkin kedinginan karena bajunya yang basah itu dan setelah mobil
kuparkir, tiba-tiba saja Tyas menangis dan memelukku sambil berkata,
"Bagaimana kita..., Maas, kita bisa pulang apa tidak?, saya..., takuuut
Maas".
Aku sendiri masih merasa ngeri akibat menjalankan kendaraan
di tengah kerumunan para demonstran yang terlihat sedang beringas itu,
tetapi kucoba menenangkannya dengan mengelus-elus pundaknya sambil
kukatakan, "Tenaang..., tenaang.., saja Tyas, mudah-mudahan di sini
kita aman dan nggak ada apa-apa".
Setelah beberapa saat dan mungkin
Tyas sudah sadar, tiba-tiba melepas pelukannya, "aah..., maaf...,
yaa.., Maas, habis saya takut sekali", katanya lirih.
"aah..., nggak pa-pa kook..., Tyaas", jawabku sambil kuelus-eluskan punggung tangan kiriku di pipinya.
Sudah
satu jam lebih aku parkir di gedung ini, bisa dibayangkan bagaimana
kesalnya kalau sedang menunggu tapi tidak tahu apa yang sedang
ditunggu, dan situasinya bukan semakin sepi tetapi semakin ramai dan
semrawut, petugas keamanan dan orang-orang saling kejar-kejaran dan
lempar-lemparan, sehingga membuat Tyas semakin bertambah ketakutan.
"Maas...,
gimana..., dooong..., apa kita mau di sini teruuus?, Saya sudah
kedinginan, bisa-bisa masuk angin nanti", kata Tyas sambil mendekapkan
kedua tangannya di dadanya. Karena keadaan seperti ini, membuatku jadi
kehilangan akal dan kujawab pertanyaan Tyas sekenanya, "Yaa..., habis
mau gimana lagi..., tyaas?, Mau meneruskan perjalanan..., juga nggak
mungkin", lanjutku.
"Oooh..., iyaa..., Tyaas, aku baru ingat...,
kira-kira 100 atau 200 meter dari gedung ini ada Hotel, gimana kalau
kita ke sana?, Yang penting Tyas bisa telepon ke rumah, mengeringkan
baju dan kita bisa istirahat sebentar menunggu sampai suasana menjadi
agak sepi, lalu baru kita pulang ke Bekasi", kataku.
Tyas tidak segera menjawab dan kelihatan sedikit ragu.
"Ayooo...,
deh Maas..., kita ke sana", katanya tiba-tiba, "Benar juga kata Mas,
saya pingin memberitahu suamiku kalau saya masih selamat dan nggak
apa-apa".
Setelah kukunci pintu mobilku, lalu kami berjalan keluar
gedung dan masuk di sela orang-orang yang hiruk-pikuk di jalanan dan
sampai di depan Hotel tanpa hambatan yang berarti. Tetapi ketika kuajak
masuk ke lobi Hotel, tiba-tiba Tyas berhenti dan melihat ke arahku. Aku
mengerti dengan keragu-raguannya dan segera kubilang, "Tyas..., jangan
takut, kita bisa pesan 2 kamar. Ayooo.. laah", kataku lanjut sambil
menggandeng tangannya masuk ke dalam lobi Hotel. Ketika kupesan 2 kamar
kepada receptionisnya, ternyata yang tersisa hanya 1 kamar VIP
sedangkan kamar lainnya sudah dipenuhi oleh orang-orang yang baru masuk
seperti Bapak, kata receptionisnya. Kulihat Tyas sambil akan kuminta
pendapatnya, tetapi belum sempat pertanyaanku keluar, Tyas segera
menyahut, "Ok deh Mbak..., kita ambil", katanya pada receptionisnya
sambil segera merogoh tasnya mungkin mau mengambil uang atau credit
cardnya, tapi tangan Tyas segera kupegang dan kukatakan, "Biar saya
saja".
Setelah administrasinya kuselesaikan dan diberi kunci dan
ditunjukkan arah kamarnya, kami langsung menuju kamar yang ditunjukkan.
Setelah kunci pintu kamar kubuka, Tyas yang kupersilakan masuk ke kamar
terlebih dahulu, ternyata tidak segera masuk dan aku mengetahui
keragu-raguan di wajahnya dan sambil kupegang pundaknya lalu kukatakan,
"Tyaas..., jangan takut..., saya tidak akan mengganggumu", dan
mendengar kataku ini Tyas langsung memelukku serta mencium pipiku
sambil berkata, "Terima kasih Maas, saya nggak takut..., kok".
Setelah
masuk ke kamar yang cukup luas dengan tempat tidur nomor 1, segera Tyas
menuju tempat telepon dan memencet angka-angkanya.
"Maas, ini
Tyas..., Tyas sedang di tempat kost-kostan temanku dekat kantor",
katanya sambil melihat ke arahku dan meletakkan jari telunjuknya di
bibirnya dan terus menceritakan aksi-aksi demonstran tadi.
"Mungkin aku akan nginap di sini sampai semuanya aman dan mudah-mudahan besok pagi aku bisa pulang, lanjut Tyas di telepon.
Setelah
Tyas selesai dengan phonenya lalu dia mengacungkan gagang phone padaku,
"Maas..., apa Mas nggak phone ke istri dulu agar supaya dia nggak
was-was?", kata Tyas. Benar juga kata Tyas dalam pikiranku, lalu
kuambil gagang telepon dari tangan Tyas dan kuputar nomor rumahku.
"Maa...,
ini aku..., aku nggak bisa pulang malam ini dan sekarang aku ada di
rumah salah satu teman kantor yang rumahnya nggak jauh dari kantor.
Mudah-mudahan demonya selesai malam ini dan besok pagi bisa pulang",
kataku sambil meletakkan gagang telepon di tempatnya.
Kami
saling bertatapan dan hampir secara serentak kami berseru dan saling
menunjuk, "Naah..., belajar bohong yaa?", sambil terus ketawa bersama.
"Maas...,
aku mau mandi duluan yaa?", kata Tyas sambil berjalan ke arah kamar
mandi, tetapi kemudian berhenti dan berbalik menengok ke arahku.
"Maas...,
kalau saya mandi nanti..., tolong panggilkan room boy-nya dong, agar
mereka mencuci baju kita super kilat dan bisa kita pakai lagi segera".
"Iyaa..., tuan putri..., perintah dilaksanakan...", kataku bergurau.
Tyas
segera masuk ke kamar mandi tetapi selang beberapa saat dia keluar lagi
hanya mengenakan lilitan handuk di badannya sambil meletakkan bajunya
yang telah digulung-gulung di lantai serta sambil mengacungkan sebuah
handuk lain kepadaku.
"Niiih Maas..., ganti deh bajunya dengan handuk ini..., hingga room boy-nya bisa mencuci baju-baju kita.
Setelah
selesai berkata dan tanpa menunggu jawabanku, Tyas segera masuk lagi ke
kamar mandi serta menguncinya dari dalam. Aku jadi sangat terperangah
melihat keberanian Tyas tadi yang hanya mengenakan lilitan handuk dan
melihat belahan dadanya sedikit tersembul di balik handuk yang menutup
dadanya serta pahanya yang kecil, putih serta mulus itu, tidak terasa
membuat nafsuku naik dan penisku menjadi berdiri tegang. Setelah kubuka
baju dan celanaku serta kubungkus badanku dengan handuk yang diberikan
Tyas, segera kuisi formulir laundry, tetapi karena aku tidak tahu
pakaian Tyas apa saja yang akan dicuci, terpaksa pakaian Tyas yang
digulungnya tadi segera kubuka satu-satu. Ternyata selain baju dan
roknya, di dalam gulungan itu terdapat BH kira-kira ukuran 32 dan
Celana dalam merah muda yang sangat tipis. Melihat BH dan CD ini,
perasaanku menjadi terangsang, dan sebelum kumasukkan ke dalam laundry
bag, kuciumi CD-nya beberapa saat dan tercium aroma vagina yang khas.
Setelah itu baru kupanggil room boy untuk mengambil pakaian-pakaian
kotor dengan pesan agar diantar kembali secepat mungkin dan paling
lambat besok pagi.
Kudengar kunci kamar mandi dibuka dan muncul
Tyas dengan rambut yang masih basah dan wajah yang terlihat segar dan
bertambah manis serta badannya terlilit dengan handuknya dan kembali
membuat mataku sedikit terbelalak melihatnya karena belahan payudaranya
serta pahanya yang putih mulus itu.
"Maas..., ngelihatnya kok begitu amat sih?, iiihh..., menakutkan sekali?, kata Tyas sambil berjalan menuju kaca.
"Maas..., sekarang gantian deh, Maas yang mandi..., dan nanti kupesankan makan, mau makan apa Maas", lanjutnya lagi.
"Makan apa..., yaa?, sahutku seakan bertanya, "Makan Tyas..., aja deh", lanjutku sambil berjalan menuju kamar mandi.
"Haah..., makan apa Maas", sahut Tyas sambil membelalakkan matanya dan mencubit tanganku ketika aku melewatinya.
"aah...,
maaf Tyas,aku salah ngomong..., maksudku makan seperti yang Tyas pesan
saja", jawabku sambil ketawa dan terus masuk kamar mandi.
Setelah
selesai mandi, kulihat makanan sudah siap di meja sofa yang ada di
kamar dan kami terus makan dengan hanya memakai lilitan handuk di
badan. Sesekali kulirik paha Tyas yang selama makan di tumpangkan ke
paha satunya, dengan harapan siapa tahu Tyas mengubah posisi duduknya
dan melihat bagian dalam paha yang aku yakin tidak memakai CD karena
semua pakaiannya sedang di cuci, tapi harapanku tidak pernah terwujud
sampai makan selesai.
Setelah selesai makan, kami teruskan
dengan ngobrol soal keluarga masing-masing dan soal pekerjaan sambil
melihat acara TV, sampai akhirnya kulihat Tyas menguap dan kulihat jam
sudah menunjukkan jam 21.45 malam dan segera saja kukatakan, "Tyas...,
sudah malam nih, kita tidur saja..., biar kita bisa bangun pagi-pagi
dan terus pulang", kataku sambil kuambil 1 bantal diantara 3 bantal
yang ada di tempat tidur dan menarik bed cover serta kutaruh di Sofa.
Melihat kelakuanku itu, segera saja Tyas berkata, "Maas..., lho..., kok tidur di situ?
"Nggak
apa apa deh..., Tyas..., sudah biasa dan..., lagi pula biar Tyas bisa
tidur nyenyak", sahutku sambil terus tiduran di sofa dan menarik bed
cover untuk menyelimuti badanku.
"Maas..., tidur di sini saja, kan
tempat tidurnya cukup lebar", kata Tyas sambil tiduran dan masuk
kedalam selimut serta meletakkan salah satu bantal di tengah-tengah
tempat tidur.
"Sudahlah Tyas..., nggak apa-apa kok..., tidurlah", kataku sambil terus memejamkan mata.
Tetapi
Tyas masih tetap saja memaksa agar aku tidur di tempat tidur, "Maas...,
ayooo..., dooong..., tidur di sini..., saya kan jadi nggak enak", kata
Tyas lagi.
Karena dipaksa terus, lalu aku pindah ke tempat tidur dan
kumasukkan badanku ke dalam selimut sambil kulepas lilitan handuk yang
ada di tubuhku dan kudengar suara Tyas agak mengguman, "Tapi..., jangan
nakal yaa..., Maas", sambil memiringkan badannya sehingga tidurnya
membelakangiku.
Dengan posisi tidur telentang dan tangan kananku
kutaruh di atas bantal yang diletakkan oleh Tyas di tengah kasur
sebagai pemisah, kupejamkan mataku agar cepat bisa tertidur. Beberapa
lama kemudian ketika aku sudah hampir lelap, tiba-tiba telapak tangan
kananku terasa ditimpa oleh tangannya sehingga tidurku agak terjaga dan
setelah kubuka mataku sedikit, kulihat Tyas telah tidur telentang juga.
Karena sudah ngantuk sekali, kubiarkan saja telapak tangan kirinya
bertumpu di telapak tangan kananku, karena kupikir Tyaspun sudah tidur
lelap. Tetapi beberapa saat kemudian, kurasakan jari-jari tangan Tyas
seperti mengelus telapak tanganku.
Pertama-tama kubiarkan saja
dan tidak kuacuhkan karena kuanggap kalau orang tidur, kadang-kadang
tangannya suka bergerak-gerak, tetapi setelah kucermati beberapa saat,
ternyata jari-jari tangan Tyas sekarang sudah memijat jari tanganku
walaupun tidak terlalu keras. Merasakan pijatan-pijatan halus di
tanganku itu membuat kantukku mendadak menjadi hilang, tetapi aku masih
tetap pura-pura sudah tertidur dan membiarkan jari-jari Tyas meremasi
jari tanganku. Makin lama remasan jari Tyas semakin agak keras,
sehingga aku menjadi semakin yakin kalau Tyas masih belum tidur.
Sambil
tetap kupejamkan mataku dan kutarik nafas sedikit agak panjang, aku
menggerakkan dan memiringkan posisi tidurku menghadap ke arah Tyas dan
tangan kiriku kujatuhkan di atas bantal pemisah tapi telapak tanganku
kujatuhkan pelan tepat di atas payudara Tyas yang tertutup selimut.
Kuatur nafasku seolah aku sudah tidur nyenyak, tapi aku tidak bisa
mengontrol penisku yang mulai berdiri. Tyas kelihatannya mendiamkan
saja dengan posisi tanganku ini dan tidak berusaha untuk menggeser
telapak tanganku yang berada di atas payudaranya dan tetap saja
melanjutkan remasan-remasan jarinya ke jari-jariku karena mungkin masih
menyangka kalau aku sudah tidur nyenyak. Sesekali kutekankan telapak
tangan kiriku pelan-pelan ke payudaranya, tetapi masih saja Tyas tidak
bereaksi sehingga membuatku bertambah berani dan tekanan jari tanganku
kuubah menjadi remasan-remasan yang halus pada payudaranya.
"Maas...,
tiba-tiba terdengar suara lemah Tyas seraya memelukku setelah membuang
bantal pemisah di lantai dan ini tidak kusia-siakan dan lalu kupeluk
juga tubuh Tyas serta kucium bibirnya. Tyas begitu menggebu-gebu
melumat bibirku disertai menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku dan
nafasnya terdengar cepat serta tidak beraturan. Setelah beberapa saat
kami berciuman, tiba-tiba Tyas menggerakkan dan menggeser badannya
sehingga sekarang sudah berada di atas badanku.
Tyas semakin
ganas saja dalam berciuman dan kadang-kadang diselingi dengan menciumi
seluruh wajahku dan kugunakan kesempatan yang ada untuk melepas selimut
dan handuk yang menutupi tubuhku dan Tyas, sehingga tidak ada lagi
bagian badan yang tertutup. Dengan posisi Tyas masih tetap di atas
badanku, kupeluk badan Tyas yang kecil mungil itu rapat-rapat sambil
kuciumi seluruh wajahnya, demikian juga Tyas melakukan ciuman yang sama
sambil sesekali kudengar suaranya, "aahh..., aahh..., oooh..., Maasss".
Tyas
sekarang menciumi leherku dan terus turun ke arah dadaku dan karena
terasa geli dan nikmat, tidak terasa aku berdesis, "ssshh..., ssshh...,
Tyaass..., ssshh".
Tyas meneruskan ciumannya sambil terus menuruni
badanku dan ketika sampai di sekitar pusarku, dia menciuminya dengan
penuh semangat dan disertai menjilatinya sehingga terasa nikmat sekali
dan penisku kian menegang di bawah badan Tyas.
"ssshh..., Tyaas...,
adduuuhh..., aahh", dan Tyas secara perlahan-lahan terus turun dan
ketika sampai di sekitar penisku, Tyas tidak segera memasukkan penisku
ke dalam mulutnya, tetapi menciumi dan menghisap daerah sekelilingnya
termasuk biji penisku sehingga rasa enaknya terasa sampai ke ubun-ubun
"ssshh..., aahh..., aahh..., Tyaas..., ooohh", sambil tangan kanannya memegang batang penisku dan mengocoknya pelan-pelan.
Tiba-tiba,
"hhuuubbb", penisku hilang masuk di mulutnya dan karena kaget dan
keenakan tak terasa aku jadi sedikit berteriak, "aahh". Tyas segera
menaik-turunkan mulutnya pelan-pelan dan sesekali kurasakan penisku
seperti terhisap-hisap karena sedotan kuat mulutnya, "Aaduuuhh...,
Tyaas..., enaakkk..., aahh".
"Ayooo..., dooong..., Tyaas..., siniii.., Maass juga kepingin", kataku sambil sedikit bangun dari tidurku dan menarik badannya.
Tyas
sepertinya mengerti kemauanku dan badannya diputar mengikuti tarikan
tanganku tanpa melepas penisku yang masih menyumpal mulutnya. Posisinya
sekarang 69 dan Tyas berada di atas badanku dan tercium aroma vagina
yang khas itu. Vagina Tyas hanya ditumbuhi bulu-bulu hitam yang sangat
tipis, sehingga bentuk vaginanya yang belahannya masih rapat itu
terlihat jelas. Pelan-pelan kujilati bibir vagina Tyas yang sudah
sangat basah itu dan badan Tyas menggelinjang setiap kali bibir
vaginanya kuhisap-hisap dan dari mulutnya yang masih tersumpal penisku
itu terdengar suara, "hhmm..., hhmm..., hhmm".
Dengan kedua
tanganku, segera kubuka belahan vagina Tyas pelan-pelan dan terlihat
bagian dalamnya yang berwarna merah muda dan segera kujulurkan lidahku
serta kujilati dan kuhisap-hisap seluruh bagian dalam vagina Tyas dan
kembali kudengar erangan Tyas yang sekarang sudah melepas penisku dari
mulutnya, "aahh..., ooohh..., ssshh..., Maas..., ooohh", sambil
berusaha menggerak-gerakkan pantatnya naik turun sehingga sepertinya
mulut dan hidungku masuk semuanya ke dalam vaginanya serta wajahku
terasa basah semuanya oleh cairan yang keluar dari vagina Tyas.
"oooh...,
Maas..., aahh..., ssshh..., ooohh..., teruuuss..., Maas..., aah".
Apalagi ketika clit-nya kuhisap, gerakan pantat Tyas yang naik turun
itu terasa semakin dipercepat dan kembali terdengar erangannya yang
cukup keras, "oooh... Maas..., teeruuuss..., aahh", dan ketika beberapa
kali clit-nya kuhisap-hisap dan sesekali lidahku kujulurkan masuk ke
dalam lubang vaginanya, geraka pantat Tyas semakin menggila dan cepat,
semakin cepat dan, "aahh..., Maas..., aadduuuhh..., akuuu..., aahh...,
keluaarr..", sambil menekan pantatnya kuat sekali ke wajahku sehingga
aku sedikit kelabakan karena sulit bernafas dan terdengar nafas Tyas
terengah-engah. Setelah tekanan pantatnya di mukaku terasa berkurang,
perlahan-lahan kuputar badanku ke samping sehingga Tyas tergeletak di
tempat tidur tapi masih dalam posisi 69. Dengan masih terengah-engah
kudengar Tyas memanggil pelan, "Maass..., ke sini..., Maas", dan segera
saja aku bangun serta berputar posisi lalu kupeluk badannya serta
kucium bibirnya dengan mulutku yang masih basah oleh cairan vaginanya.
"Maas", katanya di dekat telingaku dan nafasnya sudah mulai agak teratur.
"Apaa sayaang...", sahutku sambil kucium pipinya.
"Maas...,
sejak kawin aku belum pernah mencapai orgasme seperti ini..., entah
kenapa..., atau mungkin karena suamiku selalu langsung-langsung saja
dan kadang-kadang aku merasa sakit".
"Terima kasih..., sayaang...,
dan sekarang..., boleh akuuu..", sahutku dan sebelum aku menyelesaikan
kata-kataku, kurasakan Tyas merenggangkan kedua kakinya, jadi aku tidak
meneruskan kata-kataku itu. Aku mengambil ancang-ancang dengan memegang
penisku serta kuarahkan pada belahan vaginanya yang kurasakan sedikit
terbuka, lalu kulepaskan pegangan tanganku setelah kurasakan kepala
penisku berada di belahan vagina Tyas.
"Maas..., jangan kasar kasar..., yaa..., aku takut sakit", kata Tyas sambil memelukkan kedua tangannya di punggungku.
"Tidaak,
sayaang..., aku akan masukkan sepelan mungkin dan kalau Tyas sakit
tolong beritahu aku", sahutku dan segera kukulum bibir Tyas sambil
kujulurkan lidahku ke dalam mulutnya dan Tyas menghisap dan
mempermainkan lidahku, sementara itu aku mulai menekan pantatku
pelan-pelan sehinggga kepala penisku mulai memasuki lubang vaginanya
dan, "Bleeesss", penisku sudah masuk setengahnya ke dalam vaginanya dan
Tyas berteriak pelan, "Aahh..., Maass", sambil kedua tangannya
mencengkeram kuat di punggungku.
Karena teriakan Tyas ini,
kutahan tusukan penisku untuk masih lebih dalam dan kutanya, "Sakit...,
Yaang?", Tyas hanya menggelengkan kepalanya sedikit dan, "Maas...,
nakaal..., yaa", sambil mencubit punggungku dan kedua kakinya segera
diangkat lalu dilingkarkan ke punggungku, sehingga akibat jepitan
kakinya ini menjadikan penisku sekarang masuk seluruhnya ke dalam
vagina Tyas.
Aku belum menggerakkan penisku karena Tyas
sepertinya sedang mempermainkan otot-otot vaginanya sehingga penisku
terasa seperti terhisap-hisap dengan agak kuat.
"Yaang...,
teruuus..., yaang..., enaakkk sekaliii..., yaang", kukatakan
kenikmatanku di dekat telinganya, dan karena keenakan ini dengan tanpa
sadar aku mulai menggerakkan penisku naik turun secara pelan dan
teratur, sedangkan Tyas secara perlahan mulai memutar-mutar pinggulnya.
Setiap kali penisku kutekan masuk ke dalam vaginanya, kudengar
suaranya, "aahh..., ssshh..., Maass..., aaccrrhh", mungkin karena
penisku menyentuh bagian vaginanya yang paling dalam.
Karena
seringnya mendengar suara ini, aku semakin terangsang dan gerakan
penisku keluar masuk vagina Tyas semakin cepat dan suara, "aahh...,
ssshh..., aahh..., ooohh..., aahh" dari Tyas semakin sering dan keras
terdengar serta gerakan pinggulnya semakin cepat sehingga penisku
terasa semakin nikmat dan nyaman.
Aku semakin mempercepat
gerakan penisku keluar masuk vaginanya dan tiba-tiba Tyas melepaskan
jepitan kakinya di pinggangku dan mengangkatnya lebar-lebar, dan posisi
ini mempermudah gerakan penisku keluar masuk vaginanya dan terasa
penisku dapat masuk lebih dalam lagi. Tidak lama kemudian kurasakan
pelukan Tyas semakin kencang di punggungku dan, "aahh..., ooohh...,
ayoo Maass..., aahh..., akuuu..., mauuu..., keluaar..., aahh..., maas".
"Tungguuu..., yaang..., aahh..., kitaa..., samaa..., samaa", sahutku sambil mempercepat lagi gerakan penisku.
"Adduuhh...,
Maas..., akuuu..., nggaak..., tahaan..., Maas..., ayooo...,
se..karaang..., aarrcch", sambil kembali kedua kakinya dilingkarkan dan
dijepitkan di punggungku kuat-kuat.
"Yaang..., akuuu..., jugaa..",
dan terasa, "Creeet..., creeet..., crrreeett", air maniku keluar dari
penisku dan tumpah di dalam vagina Tyas sambil kutekan kuat-kuat
penisku ke vaginanya.
Dengan nafas yang terengah-engah dan
badannya penuh dengan keringat, didorongnya aku dari atas badannya
sehingga aku jatuh terkapar di sampingnya tetapi penisku masih tetap
ada di dalam lubang vaginanya.
Setelah nafasku agak teratur,
kukatakan di dekat telinganya, "Yaang..., terima kasih..., yaang",
sambil kukecup telinganya dan Tyas tidak menjawab atau berkata apapun
dan hanya menciumi wajahku.
Setelah diam beberapa lama lalu
kuajak Tyas membersihkan badan di kamar mandi dan terus tidur sambil
berpelukan. Paginya kuantar dia di dekat rumahnya.
Hari-hari
selanjutnya Tyas dan ke 3 orang lainnya masih tetap ikut mobilku dan
kami tetap bersikap biasa seolah tidak terjadi apapun.
Yang pasti
hubungan gelap ini masih berlanjut dan minimal seminggu sekali di
sebuah motel di bilangan Jl.Gatot Subroto, tetapi tidak sampai menginap.
Tamat